Pohon dan Matahari

Nuka Asrama
Chapter #10

Juana: Pergi

Jakarta, 9 November 2012.

Aku tahu semua ini pasti akan terjadi. Hari ini, tanggal ini. Aku sudah tahu bagaimana hari ini akan berakhir. Tak ada akhir yang bahagia.

Kenapa harus hari ini? Kenapa tidak tahun depan saja? Kenapa tidak seratus tahun lagi? Aku bahkan tak mampu memberinya satu hari lagi untuk menikmati matahari terbit. Satu hari sangat berarti untuknya. Katanya ia ingin menceritakan kisah yang menarik untukku. Aku sudah siap mendengarkan ceritanya.

Jun tertarik dengan kisah-kisah atau dongeng-dongeng yang mengandung dilatasi waktu. Seperti kisah seorang nelayan baik hati bernama Urashima Tarō yang pernah ia ceritakan kepadaku. Lalu ia juga menceritakan kisah seorang raja bernama Kakudmi. Kisah yang ia ambil dari mitologi Hindu.

“Raja Kakudmi memiliki seorang putri bernama Rewati. Rewati memiliki paras yang sangat cantik, sosok gadis sempurna yang memiliki kepribadian tak tercela. Ayahnya berpikir bahwa tiada seorang pun di Bumi yang layak untuk menjadi suaminya. Ia dan putrinya pun pergi menghadap Dewa Brahma di Brahmaloka. Saat mereka tiba, Brahma sedang menikmati pertunjukan musik yang dimainkan para gandharva atau bidadara. Mereka pun menunggu. Setelah pertunjukan selesai mereka pun menghadap Dewa Brahma. Kakudmi menjelaskan kepada Dewa Brahma daftar calon menantu yang dipilihnya. Ia meminta saran mana yang terbaik di antara mereka. Brahma tertawa, kemudian menjelaskan kepada Kakudmi bahwa terdapat perbedaan waktu yang sangat jauh antara dunia manusia dengan Brahmaloka. Waktu yang berjalan di Brahmaloka, mulai dari Kakudmi tiba sampai ia menghadap Brahma, setara dengan 27 catur yuga atau 108 yuga di dunia manusia. Jika satu catur yuga setara empat juta tahun, 27 catur yuga berarti setara 116 juta tahun di bumi!”

“Angka yang luar biasa.”

“Betul. Orang-orang yang dijadikan calon menantu oleh Kakudmi, termasuk anak, cucu, cicit, hingga keluarga mereka sudah tiada. Kakudmi tercengang. Brahma pun menenangkan perasaan sang raja. Brahma mengatakan bahwa pada saat itu Dewa Wisnu sedang turun ke dunia dalam wujud Baladewa. Ia menyarankan Baladewa sebagai suami yang tepat bagi Rewati. Kakudmi dan Rewati kembali ke dunia seakan-akan mereka pergi hanya beberapa jam saja. Namun, mereka terkejut saat menyaksikan bahwa keadaan dunia sudah jauh berbeda. Mereka pun segera mencari Baladewa. Rewati dan Baladewa akhirnya menikah.”

“Akhir yang bahagia.”

“Seandainya aku tinggal di Brahmaloka sebentar saja, bisa dibilang aku jadi manusia yang abadi,” ungkapnya. “Setelah kembali dari sana, aku bisa melihat seperti apa masa depan di bumi.”

Kisah-kisah seperti itu kadang membuatku merenung. Kehidupan di bumi terasa tidak ada artinya. Sang waktu begitu berkuasa. Kejam, tak memandang siapa-siapa.

 

Aku berjalan menuju ke kamarnya. Ia tengah berbaring lemah di ranjang. Ia menatapku dan tersenyum. Aku tak sanggup melihatnya dalam kondisi itu. Wajahnya pucat, badannya kurus. Ingin rasanya membawa dia pergi jauh. Sejauh kami bisa melangkah, berlari bebas tanpa batas. Tempatnya bukanlah di sini. Terkurung di dalam penjara. Seharusnya ia berada di tengah taman bunga, atau di hamparan pasir pantai, atau di atas bukit yang hijau.

Aku membawakannya sekuntum bunga dandelion.

“Terima kasih,” ucapnya, lalu menciumi bunga itu. “Nggak wangi,” ujarnya tersenyum.

“Tinggal semprot parfum.”

Ia tertawa. Namun tawanya pun lemah.

Lihat selengkapnya