Bali, Maret 2011.
Seperti yang sudah Arlin janjikan, hari ini ia datang ke Bali. Aku menjemputya ke bandara. Kusambut dia dengan sebuah pelukan hangat. “Selamat datang di Bali.”
“Wow, akhirnya!”
“Rex nggak jadi ikut?”
“Tiba-tiba ada kesibukan,” jawab Arlin.
“Mungkin dia sedang memilih tempat lain untuk bulan madu.”
“Shut up, Jun.”
“Senang kamu mau datang.”
“Demi sahabat terbaikku, apa sih yang nggak.”
“Bullshit. But thank you.”
Aku senang akhirnya Arlin memenuhi janjinya. Sudah kusiapkan waktu khusus untuk menemaninya. Kami sudah menentukan ke tempat mana saja yang akan kami kunjungi. Pegunungan, pantai, danau. Petualangan kami di pulau ini akan dimulai besok. Arlin tampaknya sudah tak sabar.
Arlin menginap di kamarku. Aku tak ingat kapan terakhir kali kami tidur sekamar. Sudah bisa pastikan obrolan kami berlangsung sampai tengah malam. Kadang kami harus menahan tawa agar tak mengganggu kamar sebelah. Kami mengenang masa lalu. Mulai dari ketika kami pertama kali bertemu. Lalu kejadian-kejadian konyol yang pernah kami alami bersama di masa sekolah.
“Masih ingat dengan Doni?” tanya Arlin.
“Iya. Dari kelas sebelah ‘kan? Kenapa?”
“Kuberi tahu satu rahasia.”
“Mmm?”
“Dia itu sebenernya naksir sama kamu.”
“Hah?”
“Iya, betul itu.”
“Kenapa baru bilang sekarang?”
“Aku baru ingat.”
“Ah. Rahasia yang udah nggak penting lagi.”
“Oh, iya. Ada satu rahasia lagi. Kali ini rahasia yang sangat penting,” kata Arlin.
“Rahasia apa? Pasti rahasia nggak penting lagi.”
“Aku ingin melakukan pengakuan dosa.”
“Wah, rahasia besar.”
“Waktu SD aku pernah ngambil uang dari dompet ibuku untuk membeli jajan.”
“Serius?”
Ia mengangguk.
“Tak kusangka kau pernah melakukan tindakan kriminal juga.”
“Apa rahasiamu? Ceritakan kepadaku.”
***
Aku terbangun. Waktu menujukkan pukul dua dinihari. Aku berusaha memejamkan mataku kembali, namun tak bisa. Kupandangi Arlin yang sudah terlelap. Ia tampak tersenyum. Pasti sedang bermimpi indah. Aku ingin tahu seperti apa mimpinya. Mungkin ia sedang memimpikan Rex. Aku turut bahagia.
Bersama Arlin hari-hari terasa menyenangkan. Lelah tak lagi terasa. Kapan lagi waktu seperti ini akan terulang. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Kuberharap hari-hari seperti ini akan selalu ada. Namun kenyataannya aku tak bisa. Mungkin tahun depan aku akan mati. Tanda-tanda menuju ke arah itu sudah terasa. Perasaan yang sungguh menyesakkan. Kenapa harus seperti ini?