Denpasar, Agustus 2011.
Setelah ini terjadi, maka yang selanjutnya adalah itu. Rangkaian peristiwa aku simpan di dalam kepalaku. Karena percuma membuat buku catatan jika buku catatan itu akan lenyap ditelan waktu. Aku tahu Jun sedang sakit. Hari ini ia masuk rumah sakit. Aku tak perlu mencatatnya. Aku hanya perlu mengingatnya. Aku tahu hari ini akan datang, namun aku tak sanggup mengubahnya. Aku tak punya kuasa atas dirinya.
Mungkin memang seharusnya seperti ini. Ketika aku diberitahu ia sedang sakit keras, aku tak percaya. Ia baik-baik saja. Namun seiring berjalannya waktu, aku ingin tahu. Kubuktikan dengan mata kepalaku sendiri. Dan tibalah aku di hari ia pergi. Ia sudah sekarat dari pertama kali kami bertemu. Aku bertanya kepadanya, kenapa ia tak mau dioperasi? Ia menjawab, “nggak apa-apa, pada akhirnya aku akan mati juga.”
Ia tak ingin merepotkan semua orang. Aku memaksa dan terus memaksanya. Pada akhirnya ia bosan dan menerima permintaanku. Ia pergi ke ruang operasi. Ternyata aku memberinya jalan yang salah. Ia meninggal di meja operasi. Aku tak bisa berpikir jernih. Aku pun ulangi lagi dan lagi. Hasilnya tetap sama. Aku mungkin tak bisa menyelamatkannya jika aku tak melompat cukup jauh. Lalu kuputuskan melompat tiga tahun, terjauh yang bisa kulakukan. Rex sempat melarangku. Ia mengatakan aku takkan berhasil. Namun aku tak mendengarkannya.
Aku pun mencarinya. Dan aku pun menemukannya. Ia tampak baik-baik saja. Aku memperhatikannya dari jauh. Aku tak berani mendekat. Akan aneh rasanya jika aku tiba-tiba masuk ke dalam hidupnya, mengatakan ia tengah sekarat. Aku pastinya dikira orang gila.
Apakah jika aku masuk ke dalam hidupnya saat itu, apakah aku akan mengubah dirinya? Jika aku mengatakan penyakitnya lebih awal, apakah ia akan menjadi Jun yang kukenal sekarang? Jun tiga tahun lalu adalah Jun yang bercahaya. Ia sedang semangat-semangatnya menjalani hari-hari. Ia punya cita-cita besar. Ia tengah berada di titik tertinggi. Apakah aku akan merusak semangatnya itu? Ia mungkin akan jatuh terlalu dalam dan tak bisa bangkit. Aku mungkin akan menghancurkan masa depannya. Meski begitu, aku tetap mencobanya. Titik persimpangan telah dipindah lebih awal. Kurva berubah begitu cepat dan drastis. Seperti yang aku takutkan, keadaaan menjadi lebih buruk. Ia jatuh terlalu dalam dan tak bisa bangkit lagi.
“Butterfly effect!” seru mentorku ketika itu. “Satu kepakan kupu-kupu di hutan belantara Brazil secara teori dapat menghasilkan angin tornado di Texas beberapa bulan kemudian. Satu hal kecil yang tampaknya tidak signifikan berdampak besar di masa depan. Sang waktu bisa menjadi sosok yang sangat menakutkan.”
“Seorang anak kecil yang mendapatkan perlakuan berbeda pada masa lalunya, akan menciptakan masa depan yang berbeda. Skenario pertama. Anak itu mencoba untuk menggambar binatang untuk pertama kalinya. Ia ingin menggambar binatang yang ia lihat di televisi. Ia memperlihatkan gambar itu kepada ayahnya. “Bagus!” Ayahnya memuji gambar tersebut. Pujian itu membuat si anak menjadi bersemangat. Ia menggambar dan menggambar lagi. Keahliannya semakin hari semakin baik, hingga ia beranjak dewasa dan memutuskan untuk menjadi seorang animator. Kerja kerasnya membuatnya menjadi seorang animator hebat.”
“Skenario kedua. Anak itu memperlihatkan gambarnya kepada ayahnya, namun ayahnya menghina hasil karyanya. ‘Jelek!’ Setiap kali ia menggambar, hasil karyanya tidak pernah mendapat pujian dari ayahnya. Anak itu kecewa, sakit hati, dan akhirnya ia menyerah, putus asa. Tidak ingin menggambar lagi. Karena menganggap dirinya tak punya bakat. Akibatnya ia tidak bisa menjadi seorang animator hebat yang seharusnya. Bisa kalian bayangkan. Satu kata bisa membawa perubahan yang sangat besar. Jadi, kalian harus hati-hati dalam melangkah. Perhatikan langkah kalian. Analisa apa yang akan mungkin terjadi. Tajamkan pikiran kalian.”
Sialan! Ingin rasanya aku melompat jauh. Namun aku takut melupakannya. Jika aku lupa dengannya, bagaimana mungkin aku bisa menyelamatkannya. Apakah memang harus aku terima kenyataan ini? Pasrah. Pasrah bukan berarti menyerah. Kubiarkan saja sang waktu membawaku.
Aku masuk ke ruang perawatannya. Ia masih terbaring di sana tak sadarkan diri. Pak Wayan yang menemaninya. Ruangan ini terasa sesak. Aku pun keluar sebentar, memikirkan apa yang bisa aku lakukan untuknya. Hari ini adalah titik permulaan dari rangkaian peristiwa penting yang akan Jun hadapi. Aku ingin berada di titik awal, dan juga di titik akhir. Aku ingin selalu berada di sisinya. Menemani hari-harinya.
Ia terbangun. Aku pun kembali masuk.