Jakarta, Maret 2011.
Hidup seperti sebuah aliran sungai, kita ikuti ke mana alirannya membawa kita pergi. Pada akhirnya sungai itu sampai ke tujuannya. Laut. Namun siklus tak berhenti sampai di situ. Laut menguap menciptakan hujan. Air jatuh ke sungai dan kembali lagi ke laut. Siklus yang tak pernah berhenti. Ada orang yang akan mengatakan, hanya ikan mati yang ikut arus. Orang itu tak melihat gambar besarnya. Ia hanya melihat aliran sungai ke laut saja. Ia mengabaikan siklus besar yang terus berulang. Tak apa-apa menjadi ikan hidup yang berenang melawan arus. Tidak ada yang melarang untuk menjadi ikan. Namun yang kita bicarakan adalah menjadi airnya, bukan ikannya. Bebas mau memilih menjadi yang mana.
“Sudah siap?” tanya Rex. Dia melemparkan salah satu botol air mineral yang ia bawa ke arahku.
“Apa kau tidak lelah dengan semua ini?” tanyaku.
Dia tertawa. “Jawabanku akan selalu sama dengan jawabanmu,” jawabnya, lalu meneguk minumannya sendiri.
Pertanyaan itu adalah pertanyaan bodoh. Aku sudah tahu jawabannya. Kami memang lelah. Mungkin bukan tubuh kami yang lelah, namun pikiran kami. Pikiran kami menyimpan begitu banyak ingatan yang berasal dari peristiwa berulang-ulang. Detail kecil yang berbeda bisa membuat kami kebingungan. Misalnya, melihat seseorang menjatuhkan pensilnya ketika sedang menulis, padahal kejadian tersebut tak pernah kami alami. Apakah pensil yang jatuh itu sudah seharusnya terjadi? Apa mungkin jatuhnya pensil akan membuat perubahan besar di masa depan? Kadang kami seperti mengalami deja vu. Rasa-rasanya jatuhnya pensil itu sudah pernah kami alami. Namun di mana, dan kapan? Kami tak ingat. Lalu di manakah ingatan itu tersimpan?
“Ingatan tersimpan di dalam otak. Sebagian terukir di dalam ruang dan waktu. Seperti ketika kau memahat sebuah bongkahan kayu menjadi patung. Patung itu akan membentuk sebuah ingatan, namun sisa-sisa pahatan akan tertinggal di dalam ruang dan waktu. Karena masa lalu, masa depan, dan masa sekarang terjadi secara simultan, maka kau bisa mengakses sisa-sisa pahatanmu. Sayangnya sisa-sisa pahatan itu kadang tak jelas. Semakin jauh ke melompat, semakin tak jelas bentuk sisa-sisa pahatan itu. Berupa noise yang tak bisa kau kenali seketika. Kau harus merangkainya, menyatukannya kembali. Kau menentukan dari patung yang mana noise itu berasal.” Ketika mendengar penjelasan seperti itu dari mentorku, aku hanya mengangguk saja. Aku belum sepenuhnya mengerti. Tahap benar-benar mengerti baru bisa didapatkan dari banyak pengalaman. Demikian yang ia jelaskan.
“Kita memang tidak akan pernah bisa melenceng dari jalur,” ucapku. “Kita dikuasai oleh sang waktu. Tak hanya kau dan aku. Kita semua.”
Bali, Februari 2011.
Deru mesin jet, tekanan udara kabin yang membuat kuping mendengung, pemandangan daratan dari atas awan. Aku terbang. Mungkin sebaiknya aku menjadi burung. Bisa terbang bebas tanpa beban pikiran. Sayangnya aku belum tahu apakah burung punya beban pikiran. Bisa kurasakan embusan angin menerpa wajahku. Aku tak perlu terbang bersama mesin jet yang berisik, tidak efisien, bikin polusi. Aku ingin terbang tinggi seperti burung albatros. Terbang beribu-ribu kilometer, bermigrasi dari satu pulau ke pulau lainnya. Terbang dengan anggun tanpa suara.
Pesawat akhirnya mendarat sempurna. Aku pun turun. Menginjakkan kakiku di daratan. Bali. Aku sudah pernah datang ke pulau ini beberapa kali. Dulu hanya kunjungan biasa untuk menjalankan perintah. Kali ini berbeda. Bisa dibilang aku melenceng dari jalur. Aku tak lagi mengikuti alur waktu yang biasa kujalani. Aku menuju arah yang berbeda.
Aku ingat dengan ucapan mentorku. “Yang melenceng pada akhirnya akan kembali ke jalan yang benar.” Mungkin selama ini mereka sengaja membiarkanku melenceng, karena mereka yakin aku akan kembali. Dan memang benar aku selalu kembali.
Aku keluar dari bandara. Naik taksi yang membawaku entah ke mana. Kuikuti saja alurnya. Biar sang waktu yang menuntunku. Aku seperti masuk ke sebuah labirin. Baru saja aku memasuki pintu gerbangnya.
Juniper. Aku tak tahu di mana dia berada. Aku hanya datang dan tak tahu harus ke mana. Entah kebodohan macam apa yang membuatku ingin menemukannya sendiri. Aku bisa tanyakan kepada Arlin. Aku malah menempuh jalan yang sulit. Aku hanya ingin menguji apakah lintasan kami memiliki titik yang bersinggungan. Aku mungkin sudah gila. Orang yang bisa mengendalikan waktu memang sudah sepantasnya menjadi gila. Kami mengulang-ulang hari, minggu, bulan, bahkan tahun yang sama. Tidak ada yang lebih menjemukan daripada melakukan itu.
Selama berhari-hari berada di Bali, aku tak berhasil menemukannya. Memang seharusnya begitu. Probabilitas yang kuhadapi terlalu kecil, nilainya mendekati nol.
Aku mengulang lagi dari awal. Kali ini aku bertanya kepada Rex. Rex bertanya kepada Arlin. Arlin memberitahu Rex. Rex kemudian memberitahuku. Aku pun mencari Jun, dan berhasil menemukannya. Probabilitas mendekati nilai satu ketika orang lain yang terkait ikut terlibat di dalam persamaan.
Aku menunggunya di depan pintu gerbang. Lalu seorang pria paruh baya mendekatiku. Ia memperkenalkan dirinya. Namanya Pak Wayan. Ia pemilik kos ini.
“Cari siapa?” tanyanya.
“Mau nyari Jun, Pak.”
“Jam segini dia belum pulang. Tunggu di dalam saja.”