Jakarta, 26 Agustus 2012.
Aku sudah tak ingat lagi bagaimana rasanya makanan yang enak itu. Semua makanan rasanya hambar. Setiap embusan napasku terasa sia-sia. Aku berharap Anubis segera menjemputku. Aku tak ingin melihat orang-orang di sekitarku bersedih lebih lama lagi. Setiap hari mereka datang untuk memberikan semangat. Semangat itu bisa kurasakan mengalir di dadaku. Lalu ketika tengah malam tiba, semangat itu tiba-tiba lenyap. Aku seperti bintang yang sudah mati berjuta-juta tahun yang lalu. Cahayaku masih terlihat meskipun aku sudah tak ada.
Hari ini Agnes yang menenamiku. Ia sempat bercerita mendapatkan pekerjaan yang baru. Aku turut senang. Ia membawakanku buku-buku untuk kubaca. Sejujurnya aku sudah tak sanggup. Namun aku berusaha sebisaku. Aku tak ingin menyia-nyiakan waktuku tanpa mengisi kepalaku dengan berbagai macam informasi. Seperti yang selama ini aku lakukan, aku mengisi kepalaku dengan kisah-kisah yang menarik. Agnes menemaniku membaca.
Lalu ia memperlihatkan ponselnya kepadaku. Ia memperlihatkan sebuah artikel di internet. “Neil Armstrong meninggal dunia,” katanya.
“Kapan?” tanyaku.
“Kemarin.”
“Kemarin tanggal berapa?”
“25 Agustus. Kenapa, Kak?”
“Bukan apa-apa.”
Apa yang pernah diramalkan oleh Jua ternyata benar-benar terjadi. Apakah ia benar-benar bisa melihat masa depan? Jika itu benar, maka ia sudah melihat masa depanku. Tidak mungkin masa depanku cerah. Lihatlah aku sekarang. Aku sudah tak bisa berdiri, berjalan, apalagi berlari. Aku bahkan tak bisa duduk. Sisa hidupku berada di kursi roda. Tidak ada yang terlihat cerah dari diriku.
Jakarta, 9 November 2012.
Aku tidak tahu apa yang telah membuatku bertahan sampai sejauh ini. Mungkin karena Jua. Mungkin karena dia adalah matahari yang membuat pohon tetap tumbuh, matahari yang menuntun langkahku untuk meninggalkan bayangan hitam yang ada di belakangku. Ia adalah matahari yang mampu melenyapkan kegelapan yang bersembunyi. Ketika aku pergi, ia selalu menemukanku. Ketika aku menjauh ia selalu berada di dekatku. Aku tak tahu perasaan apa ini. Mungkin inilah ikatan sejati yang tak bisa putus.
Suara ketukan pintu terdengar pelan. Rex kemudian muncul dari balik pintu. “Hei, Jun,” sapanya.
“Pagi, Rex. Terima kasih sudah mau datang.”
Rex duduk di dekatku.
“You look great.”
Ia membuatku tertawa. “Jangan bercanda.”
Ia ikut tertawa. “Ada yang ingin kau tanyakan atau sampaikan kepadaku?” tanyanya.
“Banyak.”
“Oke. Baiklah.”
“Jawab dengan sejujur-jujurnya.”