Jakarta, 31 Desember 2010.
Tiba-tiba ponselku berdering. Panggilan khusus dari biro. Kuterima panggilan itu. Terdengar suara seorang perempuan di ujung telepon. Dia memberikan sebuah perintah. Aku dengarkan dengan saksama.
“Enam bulan. Baik. Akan kami laksanakan,” jawabku seraya melirik ke arah Rex. Sambungan kemudian terputus.
“Tugas tambahan?” tanya Rex.
Aku mengangguk.
“Enam bulan? Tidak begitu buruk.”
Ponselku berbunyi lagi. Pesan masuk dari biro tentang detail tugas yang harus kami kerjakan. Di dalamnya ada foto seorang laki-laki berkumis tipis. Kuperlihatkan isinya kepada Rex.
“Seorang ilmuwan?”
“Kira-kira apa yang ia lakukan sampai-sampai biro ikut terlibat?”
“Tidak boleh ada pertanyaan.”
Kuulangi ucapannya sambil mengangguk. “Tidak boleh ada pertanyaan.”
“Perintah bisa menunggu sebentar. Kenapa tidak kita nikmati saja dulu malam tahun baru ini,” kata Rex.
Malam tahun baru. Bagiku sama saja seperti malam-malam sebelumnya. Tidak ada yang perlu dinikmati. Aku mungkin sudah melewati malam seperti ini ratusan kali. Tidak bagi mereka, orang-orang yang bergerombol di jalanan itu. Bagi mereka mungkin malam ini adalah malam yang istimewa. Mereka bisa berkumpul bersama-sama, berpesta, berpawai, hanya untuk merayakan malam pergantian tahun. Dan aku berada di pinggir keramaian itu, mengamati mereka seperti makhluk asing yang baru mempelajari peradaban manusia. Aku lupa bagaimana rasanya berada di sana. Atau mungkin aku memang tak pernah berada di sana, tak pernah mengambil bagian di tengah peradaban ini.
“Malam ini akan jadi malam yang istimewa,” kata Rex.
Malam yang istimewa? Entah apa maksudnya. Seharusnya dia sama sepertiku, seseorang yang sudah bosan dengan putaran waktu. Pagi, siang, malam. Namun untuk malam ini aku tak tahu. Dia kelihatan agak berbeda dari biasanya.
“Aku ingin mengajakmu ke sebuah pesta,” kata Rex.
“Kau tahu aku tak suka pesta.”
“Kadang kau perlu menikmati hidup.”
“Sudah kulakukan.”
“Kapan? Saat kau tiduran di atas rumput sambil membaca buku? Saat kau hanya berdiam diri sambil mengamati orang-orang? Tidakkah kau ingin melakukan hal lain? Sesuatu yang lebih hidup.”
“Kita akan melenceng dari jalur.”
“Jangan berkata seolah-olah kau tak pernah melenceng dari jalur.”
“Melenceng membuat kepalaku pusing.”
Dia tertawa. “Seharusnya memang begitu. Bukankah hidup harusnya penuh dengan misteri yang bikin pusing? Meski kita tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Itu adalah gambaran besar. Gambaran umum. Kita tak pernah tahu detail kecil yang terlewatkan. Kadang detail kecil itu lebih masuk ke dalam pikiran daripada gambaran besar.”