Pohon Imajinasi

Janeeta Mz
Chapter #1

Tentang Kepribadian

Kebiasaan dalam keluarga akan tercermin saat berada di luar. Seperti apa pondasi itu di bangun? Terbuat dari apa? Pertanyaan sederhana yang akan mewakili semuanya.

***

POV 1 (Dewi)

Matahari tersenyum kepadaku, andai benda jagat raya itu bisa berbicara dia pasti akan menyapaku, “Selamat pagi, Dewi!”. Terlalu mengandai-andai hal yang mustahil. Tirai jendela terbuka, membuat matahari tidak lelah tersenyum dengan manusia yang dipenuhi dunia halu.

Mataku dimanjakan dengan pesona indah pagi ini. Sinar Mentari dan tumbuhan hijau yang rimbun berhasil menyita perhatianku. Sejak membuka tirai jendela, sampai saat ini diriku belum beranjak pergi. Masih berdiri tegak di depan jendela. Tanpa memikirkan apapun, yang ada dipikiranku hanya senang saja.

Terdengar suara burung emprit, bukan emprit sebenarnya, lebih tepat burung jadi-jadian. Tanganku meraih handphone yang terletak di meja, samping jendela. Kubuka pesan whatsapp dari grup, pesan itu tentang pembagian diskusi kelompok. Kutemukan di kelompok lima dengan nama Dewi Eliana, begitu nama panjangku.

“Dewi … !” suara Ibu memanggilku.

Dengan sigap aku meletakkan handphone di atas meja kembali. Aku berlari keluar dari kamar, kutemui Ibu di dapur. Ibu memberikan piring yang berisi cah kangkung, sebagai isyarat diriku di suruh membawa ke tempat makan. Aku sudah mengira sebelumnya, kalau beliau memanggilku pasti ada sesuatu yang penting atau memintaku sesuatu.

Tanpa mengelak perintah Ibu, aku membawa masakan yang tercium lezat itu ke ruang makan. Kutaruh piring berbentuk oval di atas meja. Mataku tertuju pada pintu kamar yang tertulis Muhammad Damar, itulah nama adikku. Damar, begitu keluargaku memanggilnya. Sehingga diikuti oleh para tetangga dan temannya. Kami dua bersaudara yang memiliki selisih umur tujuh tahun. Aku sudah berkepala dua dan menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi swasta dengan jurusan sastra Bahasa Indonesia. Dari kecil sampai sekarang, diriku mengenyam pendidikan di kota pelajar karena disitulah diriku menetap. Sedangkan Damar baru duduk di bangku menengah pertama kelas VIII di sekolah swasta berbasis agama.

Tidak lama kemudian, muncullah sosok dari kamar yang kutatap. Seragam biru putih sudah melekat pada tubuh remaja itu. Kusapa adikku dengan sapaan khas. “Cah bagus1!”

Damar menyambut sapaanku dengan senyuman. Remaja itu berjalan menuju kursi sambil berkata, “Aku nanti diantar ya, Mbak!”

Aku tersenyum kepada Damar, tanpa mengiyakan ataupun menidakkan. Bola mataku bergerak mengelilingi seisi ruangan, kutemukan sosok Ayah yang sedang keluar dari kamarnya dengan menenteng tas kerja. Perkataan yang dari Damar yang belum terjawab membuatku segera mengeluarkan jawaban. “Kan ada Ayah.”

Ayah bergabung ke ruang makan bersama kedua anaknya. Meletakkan tas di kursi yang akan diduduki. “Damar mau di antar sama Mbak Dewi!”

Nggih2, Yah,” jawab Damar dengan sopan.

Mendengar percakapan singkat Ayah dan Damar, kuubah posisiku dari berdiri menjadi duduk di samping adikku. “Kalau Mbak yang ngantar, tidak pakai mobil. Apa kamu mau?”

“Aku pengin sekali-kali di antar Mbak Dewi, lama enggak naik motor soale. Mau motoran saat berangkat sekolah enggak boleh sama Ayah,” rintih Damar.

Mendadak Ayah menatap kami berdua dengan mata tajam. Aku dan Damar tertunduk, takut kalau tiba-tiba Ayah mengeluarkan taringnya.

Nduk3, Le4, kalian itu harus nurut orang tua!” kata Ayah tidak seseram bayangan kami. Mungkin karena aku dan adikku sudah menampakkan raut muka ketakutan terlebih dahulu. Hanya sebuah perkiraan saja, andai benar hal ini akan kugunakan saat Ayah menampakkan muka seram. Sehingga amarah yang akan tercipta mencair karena melihat anaknya terlihat tunduk. Hanya sebuah halu yang berlebihan.

Lihat selengkapnya