Kamu bisa menilai manusia sesuai dengan pandanganmu, tetapi cukup Tuhan yang menilai manusia dengan tepat.
***
POV 1 (DAMAR)
Di sekolah aku bergaul normal seperti teman-teman. Tetapi setelah pulang sekolah, kehidupanku memang tidak seperti remaja selayaknya. Aku menghabiskan waktu dengan kesenanganku sendiri, bukan seperti mereka yang lebih suka menikmati masa pacaran. Tanpa punya pacar aku bangga dengan apa yang bisa kujalani saat ini.
Hari ini aku pulang lebih awal dari biasanya. Ibu sudah berada di dekat pintu gerbang dengan motor matic berwarna putih. Beliaulah yang menjemputku setiap pulang sekolah. Hatiku menebak, pasti Ibu diberitahu Pak Wira yang berstatus sebagai satpam di sekolahku. Kakiku berjalan menuju wanita berjilbab biru.
Kusapa wanita kesayanganku, “Ibu kok tahu kalau aku pulang lebih awal!”
“Siapa lagi yang selalu memberitahu tentang perkembangan sekolahmu kalau bukan Paklekmu,” kata Ibu sambil tersenyum.
Pak Wira yang berprofesi sebagai satpam sekolahku merupakan adik kandung ibuku. Jadi wajar saja, jika terjadi apa-apa di sekolah dan menyangkut diriku beliau pasti lapor dengan Ibu. Tentu saja ada enak dan tidaknya satu ruang lingkup dengan orang yang masih ada kaitannya kekeluargaan.
Aku membonceng Ibu, membiarkan orang menilai apapun. Biasanya anak laki-laki selalu memboncengkan ibunya, tetapi hal ini tidak berlaku dengan kehidupanku. Beberapa pasang mata mengamatiku, mungkin dalam pikiran mereka berkata, “Anak lanang5 kok diboncengkan ibunya.”
Jalan yang dihiasi fatamorgana mengantarkanku dan Ibu sampai di rumah. Bergegaslah diriku memasuki kamar, mengganti seragam dengan kaos yang biasa kugunakan untuk main. Tentu saja aku tidak akan bermain dengan orang yang seumuranku, tetapi bermain dengan duniaku seperti biasanya. Sudah kukatakan sebelumnya, duniaku memang berbeda.
“Ibu ke sawah dulu ya, Le!” suara Ibu terdengar sampai kamarku.
“Ya, Bu,” jawabku dengan singkat.
Segera kuambil sandalku untuk pergi menuju dunia yang mau menerimaku, tetapi dunia itu tidak diterima oleh mayoritas orang. Kututup rapat semua pintu rumah, kakiku melangkah tanpa membawa bekal apapun. Selain nyawa dan atribut penutup tubuh yang kupakai.
Angin membuat pohon jambu air samping rumah melambai-lambai. Seolah-olah mengajakku berkelana menelusuri dunia. Pohon jambu berhasil membiusku. Kakiku bergerak dengan cepat dan menaiki pohon itu. Suara angin membuatku menguap, kualihkan dengan memetik satu daun jambu air. Kuamati daun itu dengan seksama, setelah pengamatanku puas. Mataku beralih ke sebuah ranting kecil, tanpa berpikir panjang, ranting kecil seukuran lidi kuambil.
Daun dan ranting berada di tanganku. Kugoreskan ranting di atas daun. Tanganku bergerak cepat, tanpa kusadari goresan itu membuat gambaran berupa buah jambu air. Aku mengeluarkan tawa, pohon itu berhasil membuatku bisa berkarya, walaupun sederhana dan tidak membutuhkan uang. Yang dibutuhkan hanya sebuah ketenangan.
“Damar …. !”
Suara dari bawah pohon membuatku menghentikan tawa. Sepasang mataku menatap ke arah bawah. Aku melihat dengan jelas, wanita itu tetanggaku yang bernama Bu Wanti. Wanita itu terlihat cemas, tetapi diriku biasa-biasa saja.