Tidak perlu berpikir aneh-aneh ketika menghadapi sesuatu yang tidak wajar, hargailah ketidakwajaran yang kau lihat. Siapa tahu ketidakwajaran itu bisa mengubah dunia?
***
POV 1 (DEWI)
Sudah tujuh hari telingaku terbakar dengan celotehan tetangga. Mereka selalu membicarakan Damar, saat diriku melintas di antara mereka, dengan sigap para manusia itu membungkam. Apa sih salahnya adikku? Sehingga menjadi buah bibir tetangga. Firasatku mengatakan masih ada kaitannya dengan percakapan antara Bude Wanti dan Bu Warni.
Hari ini sengaja kupasang kuping di belakang Pos Kamling, di mana para wanita berdaster menunggu tukang sayur. Tembok yang membatasi jarakku dan mereka, sehingga mereka tidak melihatku. Tujuanku bukan untuk nguping pembicaraan, tetapi ingin tahu apa yang sedang dibicarakan Ibu-ibu? Apakah adikku masih menjadi topik?
Aku berusaha memasang indera pendengaran sebaik-baiknya. Kutempelkan daun telinga di tembok bangunan yang berukuran satu kamar berukuran sedang.
“Apa yang sampeyan bicarakan benar, Bu?”
“Saya ini tetangga dekatnya. Masak enggak tahu! Wong saat itu dia nyekikik di atas pohon sambil berbicara dengan daun. Apakah hal itu masih dikatakan wajar?”
Kudengar suara Bude Wanti dengan Bu RW. Aku masih setia berada mendengarkan podcast gratis dari mereka. Hampir saja diriku berteriak karena ulah katak yang melintas di atas kakiku. Untung saja aku masih bisa mengontrol diri, sehingga mulut bisa diajak kompromi. Hatiku lega, sehingga aksi ini tidak terbongkar.
“Coba Bu RW lihat sendiri, pasti baru percaya. Kayak aku dulu, sama Bu Wanti dikasih tahu tak cuekin. Setelah lihat sendiri ternyata benar. Membuktikan informasi dari Bu Wanti teruji kebenarannya.”
Kupingku semakin tidak sabar mendengar pembicaraan lebih lanjut. Setelah mendengar suara Tante Lisna ikut berkomentar. Kalimat itu mengundang beberapa pertanyaan yang tidak bisa dijabarkan dengan kata-kata.
Emak tukang sayur berkelekar renyah. “Kenjingan dedemit10 mungkin.”
“Bisa jadi,” timpal Bude Wanti. “Tapi, kalau benar. Kasihan keluarganya,” imbuhnya.
Kalimat yang diucapkan Emak tukang sayur membuatku naik pitam. Kesabaranku sudah habis, langsung saja kakiku bergerak cepat untuk menyulap situasi yang penuh dengan ghibah. Mumpung rambutku terurai bebas, biar sekalian mereka menganggapku dedemit wanita kesiangan. Walaupun baju yang kupakai bukanlah putih. Entah apa yang terjadi aku tidak peduli lagi, asalkan kata-kata itu tidak mengotori telinga manusia yang masih suci.
Situasi penuh drama mendadak sunyi bagaikan suasana malam, ketika manusia blangkemen11 saat melihat kedatangan makhluk lain tanpa disengaja. Mungkin mereka menganggapku punya ilmu hitam yang tiba-tiba bisa datang saat situasi tertentu. Kutatap mereka satu-persatu, tanpa kecuali.
Tanpa mengurangi rasa hormat diriku berjalan mendekati mereka. “Barusan lihat dedemit ya!”
Mereka terdiam sambil memberi kode antara satu dengan yang lain. Para manusia yang membeli sayur meninggalkan tempat ini, mungkin mereka panas dengan kedatanganku tanpa diundang. Hanya tersisa Bude Wanti, Bu RW, Emak Tukang Sayur, dan Tante Lisna.