Pohon Keramat

Bulan Separuh
Chapter #1

Gantung Diri

Seorang wanita sedang tergantung dan tercekik. Kedua kakinya mengayuh panik. Kedua tangannya berusaha melepaskan lilitan di lehernya. Sayangnya, seperti bernyawa pohon itu terus memperkuat lilitan akar gantungnya. Tubuh perempuan itu tergantung di dahan pohon beringin. Sebuah pohon yang besar sekali, dengan tinggi lebih dari lima belas meter dan jangkauan kanopinya selebar dua puluh meter. Cukup untuk menaungi sebuah rumah sederhana.

Namun, sayangnya tidak ada rumah lain di sana selain rumah usang tak berpenghuni di tepiannya. Tak ada tetangga dekat, hanya ada jalan raya sepi dan kebun rimbun yang kehilangan tuan tanahnya.

Pekik suara wanita itu tertahan. Tenggorokannya tak teraliri cukup udara, sehingga suara dari sana tak benar-benar keluar. Tak ada yang mendengar permintaan tolongnya.

Kayuhan kakinya pun terhenti. Kedua tangannya lunglai terjuntai. Tubuh berbalut gaun putih itu tak lagi bergerak. Hanya angin yang membelai ujung-ujung kain dan helai-helai rambut panjangnya di punggung dan dadanya. Matanya terbuka sangat lebar bahkan seakan tampak hampir keluar. Lidahnya terjulur keluar mengerikan.

Entah sudah berapa lama waktu bergulir, dari hidungnya pun mengalir keluar cairan kental berwarna gelap. Warna merah tanpa tersorot cukup cahaya tidak jauh berbeda gelapnya dengan warna lain. Demikian pula dari ujung-ujung matanya. Apakah ia menangis? Kalau pun itu sebuah tangisan, maka ia sedang menangis darah. Entah dosa apa yang diperbuatnya sampai semengerikan itu penyesalan yang ia rasakan.

Wanita itu telah benar-benar kehilangan nyawa. Tersisa jasad yang lemas, kaku dan dingin. Namun, seakan bernyawa, lilitan akar gantung beringin di lehernya pun perlahan terlerai. Seperti sudah tahu waktu yang tepat untuk melepaskannya. Tanpa ada dorongan angin, gantungan itu seperti terayun mengarahkan ke tempat jatuh yang mengerikan. Di bawahnya telah menunggu sebidang lantai tanah tanpa serasah, begitu keras. Ditambah lagi di sana terdapat batu-batu berukuran besar yang siap melumat apapun yang menghantamnya dengan kuat. Jasad itu pun terjatuh ke atasnya secara tepat sasaran.

BUG

Bunyi jatuh yang tak seorang pun mendengar, kecuali Nita yang tengah menyaksikan semuanya. Dari kepala jasad yang menghantam batu itu mengalir cairan yang menodai tanah yang keras itu. Darah yang mengalir banyak sekali, tak terserap pori-pori tanah dengan segera sehingga alirannya meluas sampai sekeliling badan. Darah yang membuat noda di sekujur putihnya gaun itu. Tak ada lagi keanggunan, hanya bersisa sesuatu yang beraroma anyir, busuk dan menjijikkan.

Nita, itu adalah nama seorang perempuan muda yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Ia terbangun dari mimpi buruk itu dengan terengah-engah. Kedua tangannya gemetar dan saat ia coba menghentikannya ia tidak berhasil. Ia hanya memandangi kedua telapak tangannya itu. Neneknya pun datang menghampiri karena tadi beliau sempat mendengarkan suara rengekan Nita yang sedang ketakutan.

“Ada apa, Sayang? Kamu mengigau tadi,” ucap wanita tua itu di tepian ranjang.

“Nenek…” Nita yang terengah-engah pun tersadar bahwa ia baru saja bangun dari mimpi buruk. Sebuah mimpi yang ia rasa begitu nyata. Sempat termenung sejenak, setelah sadar ia pun langsung menyambar tubuh neneknya itu.

“Tidak apa-apa, Sayang. Tenangkan dirimu. Tadi kamu hanya bermimpi,” ucap Nenek Tari, demikian orang-orang memanggil wanita tua itu. Wanita tua itu sambil mengelus punggung Nita agar cucunya itu bisa menenangkan diri.

Lihat selengkapnya