Polahi

Sultan Sulaiman
Chapter #1

Polahi #1 Lelaki Negeri Jauh

Lelaki itu datang dari negeri yang jauh!  Sebuah negeri yang berdiri di lereng perbukitan yang berhadapan langsung dengan Selat Makassar. Salah satu negeri yang masuk daftar kota tua di daratan Sulawesi selain Makassar, Gorontalo, dan Manado. Lelaki itu berasal dari kota pelabuhan di tanah bugis: Kota Parepare.

Tiba-tiba saja dia muncul seperti jembalang mengekor pada Baba. Menaklukkan sungai mendaki banyak gunung. Berjalan menyusuri setapak cadas basah yang licin. Jelas dia sering kali terjatuh, terjerembab, mencium tanah yang susah dijejaki saat musim hujan seperti saat ini. Mudah saja ditebak, lumpur yang melekat di sekujur pakaiannya jadi penanda betapa lelaki itu telah bersusah payah, bekerja keras sekeras rahangnya yang menyembul tegas menaklukkan medan yang tentu berat.

Kau menyorotnya, sejak langkah pertama kakinya memasuki rimba permukiman. Dia asing. Pakaiannya aneh. Aneh bagimu dan bagi bangsamu yang telah lama mendekam rimba. Sejak dari dulu, kau hanya mengenal pedito sebagai pakaian.

Kau buat dari pelepah pinang atau kulit kayu, kau kenakan sekadarnya, menutupi bagian tertentu, hanya kemaluan. Bagian tubuhmu yang lain tak dilindungi apa-apa. Kau dan Polahi lain sudah biasa. Biasa mencukupkan diri dengan pakaian sederhana.

Tak salah jika kau menganggap segala yang melekat di badan lelaki asing itu serba lain. Aneh bagimu, tak biasa bagi para Polahi yang lekat dengan belantara. Baju, celana, topi, jam tangan, sepatu, telepon genggam, juga satu benda hitam bermoncong yang sesekali mengarah kepadamu, kadang mengeluarkan bunyi aneh serupa patahan ranting kayu saat tombolnya ditekan. Benda itu, oleh penduduk negeri yang jauh disebut penangkap gambar pembeku waktu: kamera.

Namanya Igo. Mengaku mahasiswa. Dia sengaja datang menemuimu, tepatnya menemui suku Polahi untuk melakukan penelitian tugas akhir. Dia mahasiswa komunikasi, mengambil tantangan dengan memilih karya komunikasi untuk dijadikan tugas akhir. Bertualang, memasuki rimba, mendatangi suku-suku terasing yang mencuri perhatiannya sejak lama. Salah satunya Polahi, sukumu.

Dia tahu tentang sukumu. Berbekal pengetahuan yang didapat dari kawannya yang berasal dari Gorontalo, dan bacaan dari mesin pencari dunia maya, dia memutuskan berangkat. Meninggalkan tanah kelahirannya.

Rasa penasaran berlipat yang membawanya ke rimbamu. Dia menumpang angkutan antarprovinsi, terombang-ambing dalam bus sekira 65 jam. Lalu ia menempuh jarak yang jauh dengan berjalan kaki hampir seharian, menembus hutan, dituntun perantara yang menghubungkannya dengan tetua sukumu. Hingga sampailah ia di hadapanmu, seperti kau saksikan saat ini. Tekadnya tentu sekokoh baja.

Kau tak biasa menyembunyikan pesona, tak bisa menutupi desir yang tiba-tiba menyusup di dadamu. Ada yang berdebar, ada yang bertalu, ada bunyi nyaring yang tiba-tiba melengking di balik hatimu. Kau dilanda rasa penasaran yang hebat.

Baba mengumpulkan seluruh Polahi, termasuk kau tentunya. Menyampaikan pengumuman, lalu memperkenalkan lelaki itu. Perkenalan yang hangat. Baba selanjutnya menyuruh Sa’u dan beberapa laki-laki untuk mempersiapkan tempat tinggal. Dengan cekatan cabang-cabang pohon ditebas, disusun, aneka daun disatukan, dirajut dijadikan atap. Sekejab saja, tempat tinggal baru untuk tamu telah berdiri kokoh. Baba mempersilakan Igo.

Angin sore bertiup lembut, bias matahari sore berwarna keemasan pecah dari balik dedaunan. Malam perlahan merambat, menghapus kilau senja, menggantinya dengan gelap. Kau sulit menyembunyikan rasa penasaran, terlihat gusar, sesekali mencuri pandang dari kisi-kisi dinding kayu yang disusun agak rapat. Dari jauh, kau melihat lelaki itu, wajahnya samar sebab nyala pelita damar tidak terlalu terang. Sepertinya mulai malam ini kau akan sulit tidur, sebab perasaan serba lain yang mulai berbunga di dadamu.

***

Tak butuh waktu lama, betapa orang baru itu sangat cepat menyesuaikan. Bergaul dengan seluruh Polahi, sebentar saja semua orang telah berkawan dengannya. Kehadiran Igo telah membawa perubahan berarti. Dia mulai mengenalkan sukumu, tentu juga dirimu, dengan banyak sesuatu. Baca, tulis, hitung, dan ragam hal yang dia bawa dari negerinya, negeri yang jauh. Awalnya, kau masih merasa asing. Lama-kelamaan, saat kehadirannya telah berbilang hari, kau sama seperti yang lain, makin akrab dengan Igo.

Jadilah orang itu serasa menjadi warna baru bagi hari-harimu di belantara. Kau mulai mengenal bahwa selain kau dan Polahi, ada kehidupan lain di luar sana yang tentu lebih bingar.

Kehadirannya memberi pengaruh berarti. Kau dan beberapa anak-anak Polahi lainnya punya aktivitas baru. Tak melulu mengambil kayu bakar, berburu binatang hutan, menyadap damar, mencari rotan, menangkap ikan di sungai, atau mencari beragam makanan dari pohon-pohon raksasa. Kehadiran lelaki itu benar-benar telah mengubah sesuatu, meski sesuatu itu sepertinya kecil. Tapi, kau mulai menyukainya.

***

Perubahan bagi orang rimba sepertimu terkadang menjadi hal yang sangat tabu. Perubahan membuat beberapa pihak sudah mulai risi. Baba Manio yang jelas memberi izin mulai kurang simpatik.

Akhir-akhir ini, tepatnya beberapa hari ini, Mama Tanio juga ikut memperhatikan kerianganmu. Perubahan sikapmu itu sangat mudah terbaca. Ada yang berbeda pada dirimu. Hadirnya Igo di belantara membuat kau seperti menjelma sosok yang lain. Wajar, jika perempuan senja itu mulai awas, mengikuti setiap gerak-gerikmu.

Hingga pada jeda saat malam telah tiba, Mama mendekatimu, membunuh jarak lalu menarik setengah badanmu dalam pangkuannya. Membaringkan kepalamu. Kau menurut manja. Mama mengelus rambut gimbalmu lembut, lirih berucap dalam remang-remang Tohe Tutu Polinelo: pelita.

“Siapa pun dia, tetaplah asing bagi kita. Kita punya istiadat. Istiadat orang Polahi. Selain Polahi tak ada yang mengerti kita.”

Kau hanya diam. Membenam dalam pangkuan Mama. Mendengar cerita-cerita Mama menjejak, meliuk-liuk seperti ular sawah. Cerita yang selalu berulang, namun tak pernah bosan kau dengar. Cerita-cerita pelarian, cerita-cerita tentang sukumu yang bertualang di belantara. Kisah-kisah para penjaga hutan, yang memilih mendekam di hutan atas nama ‘perlawanan terhadap penjajah’.

Pelita menyisakan bias remang, tampak getah damarnya sudah hampir kering. Kau mulai menemui gelap, lalu gerbang mimpi membukakan pintu. Suara Mama tak lagi terdengar, kau sempurna pulas, menikmati mimpi yang menyapamu. Ah! Kau bertemu dengan lelaki itu…!

***

Lihat selengkapnya