Polahi

Sultan Sulaiman
Chapter #2

Polahi #2 Perpisahan

Kegiatan belantara berjalan seperti biasa. Bedanya hanya pada hadirnya pendatang baru di tengah-tengah kalian. Anak-anak yang belajar sudah punya kemajuan. Sudah mengenal banyak huruf, sudah bisa menulis, sudah pandai menghitung. Sesuatu yang sungguh luar biasa bagi penghuni belantara seperti kalian.

Dulu, dari orang tua, kau hanya diajari mengenal dua jenis angka, satu dan banyak. Sekarang kau bahkan sudah bisa menghitung sampai puluhan. Kau dan anak-anak lain, juga sudah bisa menulis nama sendiri, menulis nama Baba, Mama, Sa’u. Tak hanya itu, kau juga makin rekat dengan pendatang itu.

Kau bahkan sudah sering berjalan bersama, menyusuri belantara, mendaki puncak gunung, atau berenang di sungai bersama lelaki itu. Igo mengajarimu banyak hal. Selain membaca, menulis, dan menghitung, dia membiasakanmu dengan benda-benda aneh miliknya. Termasuk mengajarimu memindahkan gambar dari kamera yang dia punya. Kau sibuk menyapu seluruh belantara dari puncak tertinggi kawasan Pegunungan Boliyohuto. Memandang dari jendela kecil kamera, dengan satu mata yang sedikit menyipit, lalu menekan tombol klik. Kau sudah pandai memotret.

“Naye….”

Suara berat Igo mengudara. Memecah sunyi yang nyaring. Membuatmu terpaku. Sedetik waktu serasa kaku. Kau berusaha biasa.

“Kamu can... tik. Kamu cantik Naye!”

Cantik? Kau tangkap wajah lelaki itu sempurna. Dua bola matanya memanahmu, menembus kisi-kisi jendela hatimu. Bola mata yang sorotnya seruncing duri mawar. Pemilik wajah dengan bulu lebat yang menggantung di dagunya itu lagi-lagi menunduk. Kau melayang-layang, terbang tinggi, lebih tinggi. Berselang lama, setengah kesadaranmu kembali memaksamu berpijak. Kau di bumi lagi.

“Kalau aku cantik, kenapa Kaka tak pernah sanggup menatapku lama?

Akhirnya kau tanyakan juga. Kau penasaran dengan tingkah itu. Tingkah yang mengusik, juga tak pernah mengizinkanmu bertatapan dalam masa yang lama dengan lelaki itu.

“Aku hanya belum biasa. Aku belum biasa dengan dirimu Naye.

“Di tempat asalku. Perempuan tak pernah membiarkan dadanya terbuka. Maaf, saya merasa tidak sopan jika memandangmu lama!”

Berat suara itu memantul lagi, menggelinding di gendang telingamu. Igo mengangkat wajahnya, memandangmu, menunduk lagi, mengangkat wajahnya lagi, kali ini menyapu belantara. Gelombang perasaan kalian berdua sedang pasang. Perasaan serupa apa yang dialami wanita yang disebut cantik oleh lelaki? Entahlah, hanya bisa diterka: mungkin ianya mirip barang yang hilang lalu ditemukan. Senang.

Kau tak lagi peduli dengan segala penasaran. Kau menarik tangan lelaki itu. Menyusuri lereng, melangkah lebih cepat. Sampai di lembah, dari tempat kalian berdiri, sungai dengan batu-batu besar terhampar. Airnya jernih, dingin. Sebuah keriuhan terjadi seketika. Keriuhan di dadamu yang bercampur suara gemericik air membelah bebatuan. Kau ingin sekali menunjukkan sesuatu.

Kau raih bulahu --tumbuhan akar merambat mirip ubi jalar-- yang banyak tumbuh di pinggiran sungai. Memukul-mukulnya dengan batu. Setelah itu mengelebukannya, lalu menunggu beberapa jeda. Igo masih belum mengerti, bingung dengan apa yang kau lakukan.

Lihat....! Satu ekor. Dua ekor. Tiga ekor, banyak ikan-ikan kecil mengapung. Juga udang-udang kecil, kepiting, hampir semua jenis binatang air pingsan tak berdaya. Kau memungutnya cepat. Igo terkesima, berusaha tidak percaya dengan yang dilihatnya. Dia masih terperangah dan sepertinya tengah memikirkan sesuatu.

“Naye... Bulahu itu bisa jadi uang!” serunya dengan mata berbinar.

“Maksud Kaka?” tanyamu kebingungan.

“Di tempatku, di kota, bulahu bisa diperkenalkan. Orang-orang menangkap ikan di laut tak harus pakai pukat. Bulahu mungkin bisa membantu mereka. Kalian para Polahi di sini bisa memasoknya. Polahi bisa dapat penghasilan dari bulahu.”

Igo menjelaskan maksud. Panjang lebar menyampaikan rencana. Kau menyimak, walau tak sepenuhnya mengerti. Selesai memungut tangkapan, kalian beranjak dari sungai, membawa serta segalanya, kembali menyusuri lereng. Igo terus bercerita, kau masih asyik mendengarkan. Kau dan Igo hendak kembali ke puncak. Menyiapkan pesta kecil dari hasil tangkapan itu. Sebelum sampai puncak.

“Naa... yeee...!”

Teriakan garang membahana. Melengking dari arah bawah semacam suara kucing jantan mengancam betinanya. Seorang laki-laki yang amat kau kenal mendekat. Sekilat menerobos, menarik tanganmu kasar, lalu membawamu setengah menyeret. Meninggalkan Igo yang bungkam tak berkutik.

Sungguh amat mudah dipahami. Sa’u merasa berhak atasmu karena ucapan Baba kepadanya tempo hari. Kau harus memahami. Sedang Igo, telah beralih dari bungkamnya mengikuti langkah, ingin meraihmu, hanya saja Sa’u terlalu tangkas. Dia menyerang garang, terjadi pertikaian antarlelaki. Namun, Igo harus pasrah tersungkur.

Baba mencarimu...!”

Lihat selengkapnya