Bangun, Naye…!”
Suara tegas itu bergema. Menyentuh gendang pendengaranmu, kau seperti tersihir ingin segera membuka mata. Namun, bayangan luka dan air mata yang telah kau saksikan seakan tak ingin mengembalikan kesadaranmu. Isakmu meruah, menambah deras air mata yang tumpah di kelopakmu.
Wajah Mama Tanio tergambar. Rintih kesakitannya dan suara-suara pilu puluhan Polahi yang jadi korban lekang di kepalamu. Tubuhmu bergetar, berguncang hebat, kau berubah utuh menjadi luka.
Lelaki yang telah lama kau nanti kehadirannya itu muncul di saat-saat genting. Sungguh dia terlambat, karena tak berhasil menyelamatkan Mama dan Polahi lainnya. Namun, setidaknya, kau selamat dan dievakuasi ke tenda relawan. Kau masih belum mengerti tentang yang terjadi. Makin kebingungan dengan kemunculan Igo.
Sejak dipulangkan paksa oleh Baba Manio, Igo berhasil menyelesaikan pendidikannya. Proyek penelitiannya meraih nilai terbaik, dia sukses mengantongi predikat lulus dengan pujian terbanyak. Dia memutuskan berkarier jadi relawan, mengunjungi banyak tempat dan membantu orang-orang yang kesulitan. Betapa hati lelaki itu sebening kaca. Apa masih harus menjelaskan ini kepadamu?
Hampir seluruh daerah telah dia datangi. Menyambung hidup mereka yang membutuhkan. Dia mengimani, prinsip kebahagiaan sesungguhnya hanya bisa diperoleh dengan berbagi tawa kepada mereka yang berkabung. Anak-anak yang dipeluk pilu, perempuan yang dirundung luka, para renta yang tak berdaya karena bencana dan tragedi dibantunya menemukan hidup, kembali menggenggam bahagia yang raib oleh keadaan.
Begitulah hari-hari lelaki itu, Naye. Lelaki yang telah mencuri sebagian jiwamu dan membawanya pergi. Dan, seandainya kau tahu, sebenarnya dirimu alasan yang paling kuat mengapa Igo memutuskan menisbatkan hidup untuk kehidupan. Untuk melupakanmu, dia seperti kehilangan daya. Hal yang paling mungkin dilakukannya dengan mendatangi tempat-tempat baru, bertemu orang-orang baru. Celakanya, dia tak pernah bisa mengusir bayangmu yang terlalu lengket melekat di benaknya.
Kau pula alasan dia akhirnya kembali. Tersiar kabar di mana-mana. Hutan-hutan yang telah terbakar, dari daratan Sumatra, Kalimantan, menjalar sampai daratan Sulawesi. Hutan Nantu telah dikoyak api, merangsek masuk kawasan Boliyohuto. Terus berjalan dan bersatu dengan kawasan yang sengaja dibakar mereka yang berwajah investor.
Boliyohuto? Igo tercengang, dia tak butuh waktu lama untuk bergegas. Dari Kalimantan, memesan tiket, terbang ke Bandar Udara Djalaluddin setelah transit sejenak di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar.
Kau alasan lelaki itu kembali. Perasaan cemas telah menikamnya sejak pertama mendengar berita Hutan Nantu yang terbakar. Kau berkelebat di kepalanya, memaksanya menuruti panggilan hatinya, meninggalkan daratan Borneo tanpa restu Ketua Tim Relawan yang menaunginya. Dia benar-benar kembali untukmu.
“Mamaa… Mama, Kaka…!”
Suaramu lirih sesenggukan, melesatkan duka sembari berusaha bangun dari kondisi pailit yang kau alami. Kau berlabuh di pangkuannya, meluapkan lara yang terukir di dadamu. Igo masih mencoba terus menenangkanmu, laiknya seorang ibu yang membujuk anaknya agar berhenti menangis.
Lelaki itu menarik napas berat, mengembuskannya perlahan, lalu menyapukan pandangannya ke segala penjuru. Entah apa maksudnya, mungkin hendak menanggalkan rasa iba yang berpeluh di raganya.
Lalu kau, seketika bangkit, berusaha tak acuh pada rasa sakit yang menyerangmu, berdiri, berjalan tergesa mendatangi tiap tenda, mengecek tiap raga yang juga turut jadi korban. Hanya ada wajah-wajah asing, wajah perambah hutan, juga penambang liar yang tak satu pun berdarah Polahi sepertimu. Sepertinya kini, kau telah sendiri! Kau berusaha menahan sakit yang makin meluap.
“Kobaran api terlalu besar. Kami tidak punya peralatan memadai untuk menolong semua korban, termasuk….”
“Kenapa hanya aku…?”
Kau memotong pembicaraan, membuat lelaki pemilik tatapan runcing itu beku sekejap. Semua mata, termasuk mata-mata lara yang telentang tak berdaya, memasungmu seketika.
***
Aduhai…! Hidup akan terus bergulir, meski orang-orang yang dekat, yang disayangi, akhirnya pergi, atau dipaksa pergi oleh panah takdir. Tak mudah melupakan segalanya begitu saja. Kemarau telah pergi, digilas hujan sehari yang memadamkan amarah nyala. Kau berkeras mengubur semuanya, membenamkan kenangan.
Kau kembali menyusuri setapak cadas licin bersama lelaki yang memilih tinggal bersamamu. Ya, kehadiran Igo bukan berarti menguapkan semua duka. Kau masih berkabung, namun setidaknya lelaki itu jadi pelipur bagi lara yang telah tersemat di ragamu.
Igo memilih mengakrabi hutan, demi kau, Naye. Lagi-lagi demi kau. Sulit kau mengerti, sebab jalan pikiran lelaki ini memang membingungkan. Dia meninggalkan segalanya, rela menanggalkan apa saja demi sesuatu yang dianggapnya penting. Kau penting baginya.
Aroma hujan, embus napas dedaunan, bunyi ranting patah, bersatu mengartikulasikan keadaan. Kau bertanya kenapa baru sekarang? Naye, apa harus menjawab pertanyaan itu? Anggaplah, takdir yang membawanya kembali. Bukankah kau sudah tahu, betapa dia telah berusaha melupakanmu, mendatangi banyak tempat demi menghapus jejak-jejakmu. Hanya selalu gagal, sejauh apa pun dia melangkah, tikaman rindu di dadanya makin dahsyat.
Hujan telah datang, setelah sekian lama mengingkari janjinya. Belakangan ini, musim menjadi tak menentu, sulit diprediksi. Kau tahu sebabnya. Alam mulai tak ramah, sebab manusia terlalu pongah.
Kau hendak menuju sesuatu. Igo mengikuti, walau tak tahu kau hendak ke mana. Dia setia mengekor di belakangmu, hingga tempat yang kau tuju telah tampak. Sisa lekuk api telah padam, menyisakan lebam hitam di batang-batang pohon, daun-daun terpanggang, dan tanah-tanah yang hanya menyisakan abu yang sudah basah. Kau tak menemukan jejak apa-apa selain kenangan. Teriakan Mama dan gemuruh riuh yang melengking beberapa hari yang lalu, sisanya gelap.