Tertulis catatan pengalaman di sebuah blog seorang perantau. “Orang bilang, enak studi di luar negeri. Kalau memang benar 100% enak, tentu tidak ada pepatah: hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan batu di negeri sendiri. Walaupun jujur hatiku berharap, lebih baik hujan emas di negeri sendiri, hehehe. Studi di luar negeri bukan identik dengan shopping, berfoto di depan pepohonan khas negeri tersebut, berfoto ketika musim berganti, berfoto dengan pakaian adat setempat, jalan- jalan, dan mencoba mencicipi makanan khas.”
Studi di luar negeri berarti siap berhadapan dengan dosen yang baik hati, tetapi juga rigid minta ampun, asisten dosen yang kekuasaannya melebihi dewa, atau bahasa pengantar yang harus direkam dan diputar ulang di rumah. Belum lagi, tulisan berukir yang indah dipandang. Seumur- umur, lidahku tidak cocok dengan ikan mentah ala sashimi. Aku sudah terlalu terbiasa dengan gulai kepala ikan dan ikan bakar dengan sambal pedas asam manis. Hingga dua kali musim semi, lidahku masih belum dapat bersahabat dengan soyu dan mirin.
Oh, ya, ada permasalahan lain yang belum dibahas: room-mate. Entah mengapa, rata-rata orang asing suka sekamar dengan orang Indonesia. Konon, orang Indonesia rajin dan pembersih. Ditambah lagi, tidak banyak mengeluh dan menggerutu. Suka membersihkan kamar, tidak ragu membereskan perkakas teman sekamar yang berantakan, atau rela mengosek kamar mandi. Memiliki room-mate yang tertib rapi adalah anugerah. Alasannya jelas, memiliki teman sekamar yang pemabuk hingga muntahan dan barang-barangnya berceceran ke mana-mana adalah bencana. Memiliki teman sekamar penganut freesex, membuatku mungkin akan gondok juga ketika dia minta izin: Hai, kamu ke luar kota? Boleh aku pinjam kamar ini dengan pacarku? Duh, mereka bercengkerama di kasur siapa! Punya teman sekamar yang tidak tahu halal-haram juga buat pusing tujuh keliling: kulkas bersama menjadi penyimpan minuman keras atau makanan yang terlarang untuk kumakan.
Dari semuanya, punya teman sekamar yang benar-benar tidak memiliki sense of odour, juga akan membuat hari-hariku tidak betah. Dia akan letakkan baju kotor di sembarang tempat dan ups, pakaian dalamnya pun tercecer!
Sofia sudah mendengar semua itu: 1001 kisah duka nestapa derita hidup di perantauan.
Dia tahu, merantau berarti pengiritan uang hingga harus mengetatkan ikat pinggang selangsing-langsingnya. dia tahu, merantau berarti menyesuaikan makanan dan adat istiadat yang sangat bertolak belakang. Dia tahu, bagian paling menyakitkan yang membuat para mahasiswa meraung ingin pulang adalah: homesick tiada tahan yang sangat menyiksa.
Ternyata, semua panduan merantau yang dibacanya via internet dan buku-buku motivasi, masih belum mencantumkan tantangan yang satu ini.
“Ingat ini hari Selasa.”
“Ya, Om.”
“Jangan lupa sampah organiknya.”
“Iya.”
“Jangan tercecer! Pekan kemarin ada basah-basah di bawah kotak sampah.”
Sofia mendengus!
“Om nyuci dulu hari ini, baru kamu.”
“Yah, kok, enggak jadi satu aja, sih, Om?”
“Baju Om harus beberapa kali cuci. Kamu nanti enggak sabar.”
“Udah dimasukin gitu aja, diputar, digilas, biarin kering, kan?”
“Sembarangan. Barang elektronik semakin mahal, semakin sensitif.”
Sofia menurut.
“Om ada meeting sama teman-teman. Kamu jam berapa pulang dari kampus?” Om berkata.
“Jam tujuh, kali,” Sofia menimbang-nimbang.
“Oke, kalau mau masak nabe, bisa, ya?”
“Enggak, aku mau masak ceplok telur sama bikin sambel terasi.”
“Eit!” Om mendelik. “Enggak goreng terasi malam- malam! Baunya menyebar seantero apartemen!”
“Tapi, aku mau sambel terasi,” Sofia sewot.
“Kalau mau goreng terasi pas hari Minggu aja, saat kita lagi di rumah dan waktu santai. Bisa masak-masak yang bikin bau.”
Di lain waktu, ada lagi masalah yang timbul.
“Kamu ke masjid?”
“Enggak, ada kelas anak-anak hari ini.”
“Lho, Sabtu selalu ada kelas anak di ruang bawah, kan?”
“Enggak, enggak ada.” “Benar, enggak ada?”
“Iya!” Sofia benar-benar tidak habis pikir dengan pamannya yang sangat interogatif. “Emang kenapa, sih?”
“Ada yang nitip barang di masjid. Mau minta tolong ambilkan.”
“Lho, kok, enggak Om sendiri yang ambil?”
“Om ada pesta nikah.”
“Aku enggak diajak?” iseng Sofia bertanya.
“Di sini enggak kayak kondangan ala Indonesia, Non,” Om menjelaskan. “Eh, kamu bisa ambil barang, kan? Di masjid?”
“Ya Allah, Ooom ... aku ini ada kelas tambahan.”
“Pas pulang bisa mampir?”
“Kalau Kitakyushu tetangga kecamatan, aku ke masjid, dah. Ini aku harus dua kali ganti subway di Hakata dan Orio, lanjut jalan kaki. Om tega nyuruh aku bolak-balik nenteng barang?”
“Di sini, cewek biasa angkut barang, naik sepeda onthel,” omel Om.
“Aku masih harus penyesuaian, Om.”
“Kamu! Kalau lagi ngeles persis seperti Nanda!”
Kalau sudah ungkit orang-orang di rumah, Sofia lebih memilih berdiam diri.
Lagian, Paman ini, habis ada Sofia di apartemen, punya alasan buat main perintah. Menyuruh ambil barang. Menyuruh antar barang. Menyuruh jemur pakaian. Menyuruh masak. Menyuruh buang sampah. Menyuruh belanja. Giliran kondangan, tidak mau ajak-ajak.
“Kondangan di sini, ya, Sop,” jelas Om–Sofia jengkel kalau dipanggil Sop. Dan, tampaknya pamannya tahu hal itu–, “harus menyiapkan dana.”
“Lha, kan, memang begitu? Di Indonesia juga gitu. Kita bawa amplop.”
“Iya, tapi bawa atau enggak bawa amplop enggak masalah. Kalau di sini, yang diundang hadir memang wajib bawa amplop. Isinya juga bukan sedikit. Makanya, yang diundang pun enggak banyak. Kadang hanya tiga puluh sampai lima puluh orang, tapi mereka benar-benar dipastikan membawa bingkisan.”
“Ish, berapa isi amplopnya, Om?”
“Yah, tiga puluh ribuan, lah ...”