Polaris Fukuoka

Mizan Publishing
Chapter #3

BAB 3 Omamori

Rei dan Umeko mengejutkannya.

“Kamu enggak sembahyang?”

Sofia menggeleng pendek, pikirannya berkelana.

Mereka punya waktu beberapa menit di jam makan siang. Sofia biasanya menggelar sajadah di lorong atau minta izin sejenak melakukannya di kelas. Beberapa teman sudah hafal aktivitas Sofia, terutama yang terlibat kerja kelompok atau bersama-sama menjadi panitia di acara tertentu.

Kantin mahasiswa terletak di lantai bawah gedung merah bata Joshi Daigaku yang dibatasi dinding dan kotak-kotak jendela kaca lebar hingga pepohonan momiji yang hijau terlihat jelas. Selain itu, lalu-lalang kendaraan di Jiyugaoka terlihat bagai kotak-kotak berwarna-warni merambat pasti. Distrik Yahatanishi memang mencakup beberapa universitas terkemuka, termasuk tempat Sofia menimba ilmu.

Bibir Rei bergerak-gerak.

Jemari Umeko mengayun di depan mata Sofia. “Hai?”

Sofia terkesiap. Bayang Isao meredup bagai sketsa yang memudar hingga menjadi garis-garis, lalu titik-titik, dan akhirnya hilang sama sekali.

Rei, bertubuh mungil dengan rambut model bob sebahu, duduk di depan Sofia. Mata bintangnya berkedip, bibir mungilnya merekah tersenyum. Kacamata tebalnya tidak cocok untuk gadis bermuka oval yang cantik sepertinya. Sementara, Umeko duduk di samping Sofia. Seperti arti namanya, pipi Umeko ranum kemerahan. Potongan rambut pendeknya semakin menambah bulat bentuk pipinya itu. Umeko lebih suka mengenakan celana panjang dan kemeja kedodoran ke mana-mana dengan tubuhnya yang bundar dan berisi. Namun, di mata Sofia, gadis itulah yang paling memesona. Suaranya riang. Tangan dan matanya senantiasa bergerak mengikuti kata-kata yang terlontar. Wajahnya berseri-seri dan kedua matanya senantiasa terlihat hidup. Hidup yang benar-benar hidup.

Umeko mencondongkan tubuhnya ke muka, agak ke samping, sambil mengamati kotak makan Sofia.

Hararu food?”

Sofia menggantung garpunya di udara, matanya menuju kotak bento, tapi mulutnya tidak hendak mengunyah.

“Kelihatannya enak,” Umeko memuji. “Kamu masak sendiri?”

Oishiii!” seru Rei dan Umeko serentak, ketika mencicipi masakan Sofia.

Rei mencubit punggung tangan Sofia yang terkesiap.

“Kamu perlu bawa omamori supaya tidak kerasukan,” gerutu Rei, setengah menyarankan.

Gomen ne,” Sofia minta maaf, menarik napas pendek, dan mencoba berkonsentrasi pada makanannya.

Rei dan Umeko membuka kotak makanan masing- masing, mereka saling bertukar makanan, tapi tidak dengan Sofia. Kedua gadis itu tahu, Sofia sangat menjaga makanannya.

“Kalian mau mencicipi hararu food?”

Sofia memindahkan beberapa potong makanan.

“Ini apa?” Rei dan Umeko bertanya serempak.

Rei bertanya sebelum memakannya, mengambil dengan sumpit dan mengamatinya lebih dulu barang sedetik dua detik.

Tapi, Umeko bertanya sesudah mengunyahnya.

“Ini semur telur. Ini rolade daging digulung telur,” jawab Sofia.

“Telur lagi?” Rei dan Umeko merespons serentak.

“Ya,” Sofia tertawa. “Memang, kenapa?”

Seorang gadis bertubuh tinggi langsing tiba di sudut meja mereka dan menarik kursi di sisi Rei.

“Hai, kalian sudah mulai, ya?” ujarnya sedikit berkeringat.

“Kamu mau, Jie Eun?” Sofia menawarkan.

“Angie tidak akan suka makananmu,” Umeko lebih dulu menyela, tanpa bermaksud mengejek.

Waktu makan siang adalah saat untuk melepaskan penat, menarik napas panjang, atau hanya sekadar melihat-lihat dandanan mahasiswi-mahasiswi lain. Memuji mengapa mahasiswi Korea dapat langsing semampai, membahas kecantikan mahasiswi Turki yang khas, mengomentari rambut blonde gadis-gadis Eropa, atau mendapatkan informasi terbaru tentang tren lipstik, warna kaos kaki, serta pewarnaan rambut.

Dan, sebagai mahasiswi di Joshi Daigaku, saat makan siang di kantin adalah waktu yang tepat untuk unjuk gigi tentang isi bento mereka. Ketika makanan itu dimasak sendiri, kekaguman dan penghormatan dari rekan-rekan akan meningkat. Maklum, di universitas perempuan segala hal yang terkait dengan seluk-beluk keterampilan wanita akan mengundang perhatian.

Sofia melirik isi kotak makan Jie Eun atau yang kerap juga dipanggil Angie. Pantas tubuhnya super-langsing, gumam Sofia dalam hati. Menu makan siangnya tidak beranjak dari ubi merah, irisan timun, dan beberapa iris daging ayam tanpa bumbu berat. Rei dan Umeko pun tidak banyak berkomentar tentang menu Jie Eun. Mereka lebih banyak ingin tahu isi kotak makanan Sofia yang senantiasa begitu bergairah menceritakan bagaimana dia memasak masakan Indonesia.

“Kalian sudah mempersiapkan festival tahunan di lantai satu?” Jie Eun membuka percakapan lebih serius. Kampus mereka punya acara silih berganti. Salah satunya pameran karya siswa secara periodik.

“Temanya?” Umeko bertanya, galau.

Green living,” Sofia menjawab. “Tapi, aku juga belum tahu harus memamerkan apa. Kamu, Rei?”

“Kamu boleh ambil ideku juga, Umeko,” Rei berbaik hati. “Aku akan memamerkan benih-benih mizuna dan komatsuna yang sudah kutanam sejak musim dingin. Itu mewakili field activity.” Rei menyebutkan sayuran khas Jepang, yang mirip dengan bayam di Indonesia.

Jie Eun dan Umeko berpandangan.

“Aku ingin sekali menampilkan musik, tapi apa itu berkaitan dengan green living?” keluh Jie Eun. “Kalau buat memproduksi barang, sepertinya aku belum siap.”

“Apa kamu sudah melihat di perpustakaan koleksi Eiryo Ashihara?” Sofia bertanya.

Jie Eun mengangguk, “Beberapa. Berat bagiku mempelajari kritik.”

“Aku juga,” Sofia bersimpati. “Tapi, maksudku bukan itu. Panduan Eiryo Ashihara menjelaskan tentang tari di bagian pertama. Di bagian kedua, dia merangkum chanson, permainan dan sirkus.”

“Y ... ya?” Jie Eun masih bertanya-tanya.

“Kamu bisa tetap bermusik dan menampilkan tari yang berkaitan dengan green living. Kamu bisa minta anak-anak yochien atau shogakko untuk tampil. Mereka pasti suka!”

“Jie Eun,” Umeko berseru riang, “kita bisa berkolaborasi. Aku suka menari. Beberapa kali aku ikut matsuri mewakili keluargaku yang terpilih. Doumo arigatou gozaimasu, So-fi-ya!”

“Kalau kamu, mau melakukan apa?” Rei mengarahkan pertanyaan pada Sofia.

Jie Eun dan Umeko menunggu jawaban.

“Aku?” Sofia menunjuk dirinya.

“Ya, kamu,” Rei tertawa. “Kamu boleh memasak sebagian komatsuna milikku.”

“Campur telur?” kata Sofia.

“Jangan telur lagi!” Rei menyeringai.

Ide yang bagus, pikir Sofia, tapi entahlah. Mendengar makanan, pikiran tergiring pada ajakan Nozomi.

“Aku tidak berpikir untuk memasak,” Sofia menjelaskan sembari melihat arloji. Biasanya, dia shalat terlebih dahulu. Namun, kali ini siklus bulanannya sedang berlaku. Dia punya cukup waktu untuk makan dan berbincang sebelum masuk ke mata kuliah yang berikut. “Tapi, aku juga belum berpikir apa.”

Usai suapan terakhir dan meneguk minuman, semua membereskan meja dengan rapi.

“Hai, kita sekelas, kan, Sofia?” Jie Eun menjajari langkah Sofia.

“Ya,” Sofia juga senang. “Meski, aku deg-degan juga di kelas Area Regional Lifestyle.”

“Kalian akan punya banyak pengalaman menarik,” kata Umeko menjelaskan. “Salah satunya studi lapangan mengunjungi istana-istana dan residensi keluarga berpengaruh seperti keluarga Matsumoto di distrik Tobata.”

“Aku suka istana,” Sofia berbisik riang. “I love Kokura Castle!”

“Ya, tapi kupikir salah satu studi utama Bangunan Matsumoto,” Rei menekankan. “Kalian harus mampu mendesain sendiri rumah tinggal dan lingkungan yang selaras. Para pejabat dan orang kaya zaman dahulu tidak hanya mendesain rumah secara artistik. Tapi, setiap bangunan memiliki filosofi dan fungsi.”

Rei berkedip.

Bahu Sofia dan Jie Eun melorot jatuh.

Di kelas Area Regional Lifestyle, mereka hanya diizinkan punya tiga alat bantu: pensil, penggaris persegi panjang, dan penggaris segitiga. Jangan harap, ada alat lain yang diizinkan untuk digunakan. Membayangkan rumitnya tugas di kelas tersebut membuat Sofia bersyukur kalau dia sudah mengonsumsi telur dan telur. Nyaris setiap hari!

Di ruangan lantai dua, asisten yang diperbantukan masuk menggantikan Profesor Toshiyuki. Para siswa memanggilnya Tuan Muda Hatachi, sosok muda yang tenang dan memiliki mata tajam, seperti para samurai. Pertama kali dia masuk di kelas, Sofia melihat bayang Isao yang berdiri di hadapannya dan berbicara. Wajah Hatachi bagai pinang dibelah dua dengan Isao. Walau, setelah usai mata kuliah, pinang itu tidak lagi seperti dibelah dua. Satu ibarat pinang, satu ibarat kenari. Ternyata, tidak mirip sama sekali! Sofia mulai berpikir, mungkin saran Rei ada benarnya.

Lihat selengkapnya