Polarisasi Renjana

Nela Dwi Arinda
Chapter #1

November

Selamat datang untukmu yang menjadi bagian dari November. Terima kasih telah menyerahkan diri dan membiarkanku membaca dirimu. Jangan bosan menunjukkan bahwa tanda-tanda semesta itu luar biasa. Dan jangan bosan mengungkapkan apa yang menjadi isi kepala. Karena yang hobi membaca tidak berarti ahli memahami maksud meski tanpa berkata-kata.

Perkenalkan. Aku adalah perempuan yang merintih di bahu semesta kala November membuatku perih. Sedang November adalah sajak berisi tentang dinginnya hati seseorang yang dapat membekukan hatiku.

Di antara hari-hari sepanjang November, aku hanya dapat mengirimkan puisi melalui angin yang menggerakkan mendung ke buminya. Semoga kelak mendung itu menjadi hujan yang basahi genting rumahnya. Saat hujan turun, puisi-puisiku telah sampai di pelataran. Mereka tak pernah kuperkenankan berlindung di pelukannya. Sekali pun petir menyambarnya. Sekali pun badai mengembalikannya padaku. Sebab kutahu bukan puisi milikku yang hendak ia nikmati setiap diksinya.

Biarkan puisiku memandangnya di kejauhan. Mereka hanya kuutus untuk memastikan dia baik saja. Biarkan pula mereka menjadi saksi bahwa di hatiku, sekumpulan rindu bertumbuh. Bersiap menjadi sajak-sajak yang diterbangkan dari atas sajadah; menuju Tuhannya.

Haaah~

Aku tak sedang berkawan baik dengan hujan. Entah mengapa, dia begitu senang menggembala kenang di perkebunan imaji dekat lahan kering berjuluk masa lalu. Seperti saat ini, saat rintiknya menjelma titik-titik pixel mewujud seseorang. Ya, lelaki yang pernah mengontrak gratis di hatiku. Lelaki yang pernah membuatku geram dan ingin mengumpat dengan nama hewan. Lelaki yang mengajarkan padaku tentang konsep pemusatan pola pikir hanya pada diri sendiri.

Dia tengah menari kini. Bersama seorang perempuan yang entah siapa. Aku tak tahu bagaimana cara mengenang yang menyenangkan. Bagiku, apa yang menyakitkan tetap saja akan terlihat sebagaimana rasa sakit itu ada. Siapa pun perempuan yang bersamanya, aku tak akan bisa menyalahkan.

Hujan yang pernah merintikkan kata-kata kini menghunjamkan luka-luka. Ia telah menghanyutkan serangkai tawa yang dibuatnya sendiri. Betapa lucunya.

Aku kembali tenggelam ke dalam novel. Membiarkan imaji menjadi budak kata. Menikmati warna-warna setiap cerita yang dikisahkan. Tak jarang, endorfin memuncak dan bahagia terbit. Kadang, aku heran pada diriku sendiri. Bahagia bisa sesederhana membaca cerita tanpa dia harus ada. Meski ketika membaca bukan dia tempatku bersandar. Meski ketika membaca bukan dia yang kujatuhi cubitan sebagai reaksi refleks usai membaca cerita menggemaskan.

Hei. Aku mendamba seorang lelaki yang memiliki—setidaknya—satu hobi yang sama. Bukan tentang bagaimana beradu egosentris. Tapi tentang bagaimana beradu cepat dalam memahami sebuah cerita. Atau aku juga pernah membayangkan, mungkin memang seru ketika duduk bersandar di bahu seseorang. Di tangannya sebuah buku tengah ia bacakan untukku. Sesekali, sebagai pendengar, aku akan mengomentari isi bacaan yang samar tergambar dalam imaji.

Di lain waktu, kita berburu buku. Membeli satu judul untuk berdua. Lalu berebut ingin membaca lebih dahulu. Ya, aku pernah membayangkannya seraya tersenyum penuh harap. Semoga itu kujadikan bagian dari amin paling serius.

“Aku udah sampai rumah. Kapan kita bisa ngopi?”

Pesan itu hanya kubaca. Bukan bermaksud menganggap serupa koran yang sekadar dibaca untuk mencari informasi, rasanya aku ingin membalasnya nanti saja.

Jemariku kemudian menjelajah ruang biru yang lama tak kusentuh. Namun belakangan aku merindukannya. Lebih tepatnya mungkin rindu mendapatkan pengakuan dari teman-teman Facebook. Sudah sangat lama aku merantau di aplikasi Whatsapp, tempat di mana aku menemukan rasa nyaman yang belakangan justru membuatku tak keruan.

Dalam pengguliran halaman Facebook, aku sampai pada sebuah kolom saran teman. Aku terhenti pada sebuah akun dengan foto seorang lelaki berjaket levis biru muda dan kaos hitam yang jelas terlihat di antara ujung kedua sisi jaket yang tak dibiarkan terbuka. Ujung bibirnya terangkat. Tak dapat kupastikan ia tersenyum. Namun mengertilah, aku berharap itu memang senyum. Sorot matanya melambai, seolah berbicara bahwa ia ingin kukenali. Dan kini, aku bertanya pada semestaku, dari jutaan populasi yang menghuni bumi biru, mengapa dia menjadi pertama yang muncul dan kulihat usai masa peralihan?

Lihat selengkapnya