Lalu diam tak bicara
Tak ada kata maaf terucap
Pun selamat tinggal tak pernah kudengar
Rindu yang kita tangisi milik Elegi menutup siang yang melelahkan. Gadis itu, Akshita Anjani, namanya. Dia adalah aku yang sedang berdamai dengan luka. Barangkali aku adalah manifestasi dari luka itu sendiri. Seperti apa warna luka? Apakah hitam pekat menyaru rasa sepi atau abu-abu serupa bimbang dan gundahnya?
Aku menghela napas. Sebuah nukilan lirik lagu bisa membuatku nyaris berhenti bernapas. Rasa kecewa masih tergambar jelas dalam ingatan. Seberapa pun jauh ia pergi, ingatan itu akan tetap melekat. Bagaimana melupa jika otak manusia hanya ditugaskan untuk mengingat?
Siapa yang memulai
Siapa pula yang mengakhiri; dan
Bagaimana cara berakhir yang menyenangkan?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus menggerayangi pikiranku. Bagaimana seharusnya agar aku bisa menerima dengan baik-baik saja? Meski seberapa pun manisnya cara berpisah, takkan bisa menjadikannya selayak permen kapas: warna-warni dan juga manis.
“Aku suka tas model gini nih. Bagus nggak?”
Aku melengos ke arah samping dan menghentikan lamunan. Pikiranku sudah terlalu penat. Bahkan malam lalu, aku sampai tak bisa tertidur lelap. Sudah beberapa hari ini rasa ketidakpercayaan diri menghantuiku. Seperti, lelaki itu pergi membawa serta kepercayaan diriku. Tidak. Ini bukan tentang dia yang merupa segalanya untukku sedangkan aku barangkali hanya perwujudan rotasi persinggahan sementara.
Aku meraih ponsel di mana temanku, Acha, menunjukkan sebuah gambar tas lengkap beserta harga dan spesifikasinya. Tak lupa, aku juga membaca beberapa komentar pelanggan dan perolehan bintang serta banyaknya penjualan per bulan untuk memastikan produk itu memang bagus. Ini adalah panduan yang bisa dipelajari secara otodidak untuk mencegah penyesalan usai berbelanja di toko daring. Meski begitu, risiko dari berbelanja daring tidak boleh dilepaskan begitu saja. Mengingat akad tak dilakukan secara langsung, kadang pembeli telanjur berekspektasi tinggi. Lagi dan lagi, kenyataan akan menghempasmu pada kekecewaan. Maka, berharaplah sekadarnya.
Di zaman serba daring, manusia lebih banyak menghabiskan waktu untuk berselancar di dunia maya. Bisnis pun mulai merebak di layanan daring. Siapa yang tak suka dimanjakan? Layanan pesan antar sangat menggiurkan. Tak perlu lelah mencari seharian. Tidak juga perlu kepanasan di jalanan. Sembari rebahan saja, mereka bisa membeli berbagai keperluan.
“Bagus, Cha. Cokelat aja. Natural” jawabku seadanya.
“Baru juga mau kutanyain warna.” Acha menyeringai. Dia tak tahu saja, aku ini pandai membaca pikiran hanya bermodal sok tahu.
Bing. Sebuah pemberitahuan muncul, aku beralih kembali pada gawai. Aku membuka aplikasi Instagram yang terpasang. Sebuah saran teman baru yang ternyata adalah lelaki yang sebulan lalu kutemukan di Facebook. Kali ini, kutemukan ia di Instagram atas nama @kulawarda. Fotonya sama. Bernuansa dingin namun hangat. Senyumnya tipis namun manis. Kali ini aku sigap, segera kutekan tombol ikuti. Tak lama, balasan Warda muncul, ia juga mengikuti akun milikku.
Aku bergegas menyusuri album foto yang Warda bagikan. Gunung, hutan, dan alam. Warda adalah pecinta alam, demikian aku Warda. Ia seorang pendaki sekaligus perantau di kota industri terbesar di Indonesia. Aku tak tahu dari mana ia berasal. Namun kutahu Warda pernah menjadi santri di salah satu Pesantren terkemuka di kota tempatku tinggal. Mengetahui ia pernah menyantri, hatiku menghangat. Aku sulit mengendalikan senyum yang mungkin telah mengembang sempurna. Ada suatu hal yang tak bisa dijelaskan, seperti sesuatu telah merasuk ke dalam jiwaku yang sempat beku.