Politician Influencer

Silvarani
Chapter #1

Serangan Fajar

Jajaran bendera partai menggantung di pembatas jalan antara trotoar dan jalan raya. Angin malam yang dingin mengayun-ngayunkannya, sehingga nama dari partai terbaca oleh beberapa pengguna jalan yang jumlahnya mulai sedikit. Sebagian besar warga ibukota tentu saja sudah berada di rumah, bahkan tertidur.

Padahal, ibukota menunjukkan wajahnya yang lain kala dini hari menyapa.

Akibatnya, jadi banyak orang yang tak mengetahuinya.

Suasana jalanan kecil sebelah rel kereta api hanya dilewati oleh kendaraan bermotor roda dua.

Di sebuah ruangan kecil dari bangunan ruko tingkat dua yang tak jauh dari rel kereta, lampunya masih menyala terang. Bunyi gelembung udara dari galon air mineral dispenser menyudahi lamunan seseorang yang tengah berpangku tangan di depan komputer. Pada akhirnya, dia harus menerima kenyataan bahwa fenomena yang dia benci ini kembali hadir.

“Ada serangan fajar di Kelurahan Sawo dari partai cewek lo! Dan kayaknya, beberapa kepala keluarga ada yang jadi kebawa pengaruh mereka! Elah! Udah capek-capek dari kemarin kita kasih penyuluhan bebas banjir, pola asuh balita, ibu rumah tangga berkarya, sampai melek hukum dan politik untuk warga yang berguna sampai jangka panjang, cepet banget pindah cuma karena dikasih duit!” papar Deryl yang biasanya paling diam di antara kawan-kawannya. Anak muda ber-KTP asal Jakarta Timur ini mengemukakan pendapatnya. Mungkin sudah saking gemasnya dengan perilaku para konstituen yang sesungguhnya begitu disayangi oleh atasannya selaku calon legislatif pemilihan pemilu tahun ini, malam ini laki-laki berkaca mata ini jadi ngomel-ngomel sendiri di kantor juru kampanye Pak Dwiguna, calon legislatif yang merupakan atasannya. Deryl sendiri yang merupakan lulusan Teknik Informatika di Institut Teknik Bandung ditugaskan di bagian Kampanye Digital. Dibandingkan mulutnya yang bicara, jemarinya yang lebih sering menari di atas keyboard atau matanya yang memandangi layar komputer. Namun kali ini, dia merasa sudah sepantasnya bicara.

Di sampingnya, duduk Raka, rekan satu tim Deryl yang barusan mengabarkan mengenai adanya “Serangan Fajar” di kelurahan Sawo. Sedari tadi, tangannya mengepal. Dia kesal setengah mati karena selama hampir dua tahun, dia yang mengeksekusi beberapa program penyuluhan di beberapa RW, kelurahan, bahkan kecamatan. Salah satu area tersebut tentu saja adalah kelurahan Sawo. Maklum, posisinya di juru kampanye Pak Dwiguna adalah ketua umum. Dia juga sering menjadi moderator dari berbagai acara penyuluhan atau sosialisasi tersebut. Dia merasa apa yang dia bangun dengan susah payah, sirna begitu saja hanya karena kepingan uang.

“Memang dibandingkan penyuluhan, duit lebih penting. Enggak usah terlalu sakit hati untuk menerima kalau money politic masih begitu efektif. Kita salah juga karena terlalu idealis,” celetuk Kai yang refleks membuat Deryl dan Raka melirik ke arahnya. Di antara kawan-kawannya di juru kampanye, Kai adalah sosok yang paling asal bicara, tetapi sebetulnya realistis. Perawakannya yang tampan, otak encernya yang berhasil membawanya meraih beasiswa di luar negeri, latar belakang keluarganya yang masih keturunan politisi tanah air dari beberapa era, saldo tabungannya, lebih tepatnya saldo tabungan keluarganya yang terus melambung tinggi menunjang dirinya untuk selalu percaya diri dengan apa pun yang dia ucapkan dan lakukan. Berkat kelebihan-kelebihannya ini, dia ditempatkan di posisi Public Relation. Berbagai relawan kelas atas yang sering berdonasi untuk kepentingan kampanye Pak Dwi dijaga hubungannya dengan baik oleh Kai. Biasanya dia mengajak orang-orang itu bermain golf, menembak, triathlon, sky diving, gantole, atau memancing. Khusus untuk tempat bermain golf, biasanya dia mengadakannya di tempat golf Jakarta Selatan yang merupakan salah satu bisnis keluarga besarnya.

“Kai! Bisa enggak mulut lo diem?” dan orang yang tak kalah berani pula untuk menegurnya adalah Gladis. Meski bukan lahir dari keluarga kaya dan terpandang, dia tetap punya nyali kuat untuk memberantas segala macam hal yang mengganggu di hadapannya. Jika salah satunya adalah Kai, gadis cantik ini tak berpikir dua kali pula untuk menyudahi ulah Kai.

Di posisi juru kampanye sendiri, Gladis berada di posisi Hubungan Masyarakat alias menjaga hubungan

“Auw! Auw! Auw Gladis! Jangan maraaaah! Tapi lo setuju sama pendapat gue, kan?” dan bukan Kai namanya kalau tidak menimpali omelan Gladis. Dia malah mencoba menggoda kawan wanitanya itu dengan merangkulnya.

Lihat selengkapnya