**
🍭
Sejenak Polly tidak bergerak seperti manekin.
Saat merasa situasi benar-benar aman, ia keluar. Dengan sangat perlahan, Polly membuka pintu lemari. Ruangan itu sudah kosong.
Ia menyambar tas, semprotan cuka, dan pergi nyaris berlari keluar ruangan. Tas tote dan ember kecilnya terayun liar, jantungnya masih berdetak kacau.
Polly tidak menyadari dibalik belokan ujung lorong lainnya, sepasang mata melihatnya keluar dari unit apartemen itu.
Ketika Polly masuk lift, tangannya gemetar menekan tombol di dalamnya. Meski udara sejuk, punggungnya basah oleh keringat.
Ia tidak tahu siapa pria itu atau maksud kalimat abu-abu yang ia dengar. Tapi satu hal yang pasti: ada yang tidak beres. Pria itu membawa senjata, dan Polly merasa seharusnya tidak mendengar percakapan itu.
Di halte bus, napas masih ngos-ngosan, baru satu hal yang terlintas:
Dia bahkan belum dibayar.*
🍭
Apartemen Polly, pukul 22:10.
Malam tiba.
Gedung tua itu berdiri seperti kotak korek api bekas: rapuh, kusam, dan mudah dilupakan.
Catnya mengelupas, suara keran menetes dari lorong, dan lampu tangganya berkedip tak tentu seperti sedang sekarat.
Di seberangnya, sebuah mobil hitam terparkir diam. Mesin mati. Lampu padam. Dengan kaca gelap yang menyerap semua bayangan tanpa memantulkan kembali.
Di dalamnya, sosok pria duduk dengan laptop terbuka di pangkuannya.
Wajah Polly terpampang di layar, bersama satu catatan kecil yang menarik perhatiannya:
'Juvenile Detention, Age 15. Dugaan Pencurian Kecil. Kasus ditutup.'
Pria itu menghela napas pelan, menutup laptop.
Tatapannya naik ke jendela lantai dua dengan lampu yang masih menyala lalu mati. Polly beranjak tidur.
Ia tahu gadis itu yang menguping.
Ia tahu gadis itu menyelonong masuk ke apartemennya tanpa izin.
Dan ia membiarkannya.
Siapa pun yang melakukan itu biasanya sudah mati. Tapi Polly?
Dia berbeda.
Setelah diselidiki, ternyata gadis itu hanya salah masuk unit apartemen. Bukan hanya ceroboh, Polly juga punya masa lalu yang... cukup menghibur.
Pria itu menyandarkan punggung. Diam. Berpikir. Dengan kasus hukum yang pernah dialami gadis itu, ia yakin Polly tidak akan menelepon polisi.
Dan untuk pertama kalinya sejak lama, ia memutuskan: membiarkan seseorang... hidup.
Setidaknya untuk malam ini.