**
đźŤ
Pukul 02:37 dini hari – Apartemen Polly
Polly terbangun.
Bukan karena suara. Tapi justru karena ketiadaan suara.
Biasanya, apartemennya selalu berisik: AC tua berdengung seperti dengung lebah obesitas, tetangga ribut seperti telenovela tanpa skrip, keran bocor menetes seperti detak jantung rumah yang hampir ambruk.
Tapi malam itu...
Sunyi.
Ia duduk perlahan. Menahan napas.
Sesuatu terasa salah. Terlalu salah.
Dia melangkah ke ruang tengah, menyalakan lampu—
Dan membeku.
Seseorang duduk di kursinya.
Tenang. Menyatu dengan kegelapan.
Punggung tegap. Kaki disilangkan. Tangan terlipat di pangkuan.
Seperti sedang menunggu teh disajikan.
"Kau..." suara Polly pecah.
Pria itu menoleh. Tatapan dingin. Familiar.
Lelaki dari balkon. Dari dapur. Dari berita.
"Kau harusnya membiarkanku menyelesaikan tugasku, Polly Aldridge."
Polly tersenyum tipis.
Dan semuanya—popcorn, pistol, rasa bangga—tiba-tiba terasa sangat... kekanak-kanakan.
Ia baru sadar:
Ia tidak menang.
Ia bukan pahlawan.
Ia baru saja masuk ke permainan yang sebenarnya.Â
Dan Pria kemarin sore itu.
Yang menyerahkan pistol seperti menyerahkan remote TV di ruang tamu.