Sesungguhnya hari sedang ramah. Ia menatap langit. Tidak suram, enggan menyengat terik. Biru angkasa menghampar, angin sepoi mengerisik dedaunan. Jalanan tak cukup lengang, toko kelontong dan bangunan di kiri kanan tak terlalu banyak berubah. Beberapa memang telah tumbang. Berganti sepasang mini market yang nekat berhadap-hadapan. Langkahnya terhenti di depan sebuah kafe. Dulunya bangunan itu tempat mereka sering berkumpul, sekadar menongkrong, meributkan remeh-temeh omong kosong sebagai upaya membunuh suntuk. Belia masa lalu. Kau tahu apa yang lebih buruk dari terjebak dalam kenangan? Adalah kesadaran yang datang belakangan bahwa kuncinya tertinggal di sana. Ya, di sana.
Dalam lagu yang sedang diputar ketika ia mengambil tempat dekat jendela. Pada secangkir hitam kopi yang wanginya melempar ke masa-masa lawas di Tamansari. Dulu ia sungguh takjub pada orang-orang yang berjalan tergesa di trotoar, atau memecut kencang kuda besinya dan masih mendapati pemandangan yang sama sejak dekade lewat seolah dunia ini jukebox raksasa yang tak pernah kehabisan koin, memainkan lagu-lagu top 40 untuk mustahil dibenci, kecuali oleh satu pemuda impulsif dari tanah seberang.
Dialah Rama Gardian, yang selalu merasa gagah memperkenalkan diri dengan nama komplet itu, meski naif, kerap memperlihatkan sikap agak pongah yang memang tipikal disematkan untuk seorang leader. Semacam obsesi anak generasi membangga-banggakan jejak eksistensi. Entah menjadi penting atau tak berfaedah sama sekali, menandai masa muda mereka bagai simfoni melodius berbalut lirik mentah sentimental, romansa ekonomis, dan impian-impian semu dengan sedikit porsi anarki. Dia mungkin bercita-cita teramat tinggi: membungkam tangga lagu populer di radio lokal dengan sebuah pergerakan senjakala—menuju sekarat; ditandai fashion tematik parka era Be Here Now yang secara membosankan kerap berkompetisi drama dengan penggubah nomor pamungkas “Coffee and TV” di planet hore Top of the Pops.
Apa masih ada yang mendengarkan Dog Man Star? Menukar komposisi balada itu dengan segenap aura pekat sekaligus kemegahan yang manis, buah ekstase kegilaan serta bakat brilian secercah glam rock laiknya permainan akrobat palang gantung setelah masa protes sosial ala skena shoegaze berakhir dan Nirvana benar-benar dipastikan tenggelam oleh riff chorus “Animal Nitrate”.
Atau kerap terngiang-ngiang oleh sepotong intro “Motorcycle Emptiness” tiap kali melaju di bawah rundukan lampu kota, antara himpitan beton menjulang dan gang-gang kumuh, payah membelah jalanan yang dingin dan sepi seperti surealisme lagu “Made of Stone”, laksana solilokui permintaan The Smiths menggapai impian yang belum sekali pun terwujud, lantas membiarkan segala hal berjalan seperti seharusnya tanpa penyesalan cengeng laiknya kor panjang “Live Forever”? Siapa pula yang tak canggung berjingkrak dengan lagu “Girls & Boys” atau “Disco 2000” sedang milenium baru saja melesat ketika OK Computer jauh-jauh hari telah meramal distopia maya candu android?
Rama selalu menepis segala hal yang mengalihkan tujuan di depan dengan caranya sendiri yang kerap bersinggungan dengan dirinya. Namun anehnya, setiap retorika yang beradu tak pernah menimbulkan rusuh, kecuali insiden adu jotos yang tak terelakkan dengan gerombolan geng motor di awal-awal kehidupan kampus.
Dev meloloskan sebatang rokok. Memang cukup kacau, dengusnya membatin kecut, melempar lamunan ke luar jendela untuk kesekian kali. Jalanan. Bayangan satu-satu muncul mencipta cuplikan yang tak mungkin ia lupa. Samar alunan jazz gagal memanggilnya kembali. Dev telah berdiri di sana. Di antara takdir dan kerumunan motor. Suara knalpot meraung-raung. Asap bergumpalan melayang bagai fog machine—tiada satu pun yang berniat naik pentas untuk bersenang-senang, kecuali jual beli umpatan. Pemuda yang baru ia kenal itu memendam murka di balik rahangnya yang keras. Seseorang turun dari motor. Tak lagi lebih dari lima langkah, tiba-tiba sebogem mentah melayang dan jatuh mantap mencium wajahnya. Jauh dari mesra. Pemuda itu jelas terlihat lahir lebih mula. Gerombolan anak-anak motor yang masih berbaju sekolah hanya menang angka. Melihat kawannya ambruk, satu-persatu mereka turun dengan ancang-ancang tinju. Tetapi tak ada yang berani maju hingga seseorang mengendap diam-diam serupa licik hyena, mengunci lehernya dari belakang. Tanpa aba-aba lagi, gerombolan pengecut itu menyerbunya secara bernafsu.
Sampai Rama tersungkur, sekejap pun mereka tak berhenti melancarkan keroyok hingga bibir teruknya terlihat biram, memanggil-manggil sang pemilik nama dari jarak yang masih tergapai pandang, “Dev!” tanpa sempat berkata-kata lagi kemudian.