Genjrang-genjreng intro seiring derap catchy eksperimentalisme drum ganda, ritmis berkumandang. Ia ingat betul lagu itu.
“Untouchable” adalah satu nomor yang mereka bawakan di studio ketika ngejam untuk pertama kali. Seharusnya ada aksen akordeon di sana. Kedua gitaris kembar terlalu kentara untuk menyembunyikan kekagumannya pada permainan melodius nan ikonik Bernard Butler, meski selebihnya adalah sejenis ego seorang Noel Gallagher, memungkinkan setiap lagu yang sesungguhnya memiliki nyawa sentuhan kibor, cukup ampuh diaransemen ulang dengan format konvensional dua gitar semata. Para medioker yang bermimpi jadi raja panggung.
Bila engkau malaikat, aku akan memotong sayapmu.
Tidak. Tidak. Kalimat itu ia hapus. Tak boleh mencuri apa pun dari sesuatu yang kau cintai. Tidak boleh ada pesan pemujaan. Tak ada tema perjalanan waktu; retrospeksi. Dev merasa kafein dalam darahnya semakin deras melaju. Huruf-huruf Calibri berukuran 12 kini menyaru lajur-lajur labirin tak berpintu. Ada kafe di pinggiran kota yang masih memutar Rialto bercampur-baur EDM, berganti jeda di antara lagu-lagu top 40, baginya sudah berupa kemenangan.
Dev mengganti layar, membuka surat elektronik. Matanya lelah. Kepulan asap mengembus dari bibir, membentuk lingkaran-lingkaran.
Ada pesan masuk dari alamat tak biasa. Sesungguhnya bukan benar-benar asing, selain pemiliknya terlalu gengsi memakai nama asli: Bustomi_2000. Perihal ini, ia kadang jail memanggil nama orisinal itu di keramaian meski mendapat serangan balik; dipanggil Devi. Senyumnya mengembang.
Assalamualaikum. Apa kabarmu, bro? kayak hilang ditelan genderuwo. Ini gue, Tommy.
Dev membaca paragraf selanjutnya dengan rasa bungah.