Phodopus Roborovskii masuk dalam famili cricetidae. Tubuhnya kurang dari sepuluh senti, gemuk, berekor pendek. Telinganya berambut, sehalus bulu-bulu aneka warna serupa selimut. Gerakannya tak bisa ditebak. Sekali-sekali gesit. Kadang diam bergetar seperti habis menatap hantu. Apakah mereka memiliki ketakutan seperti itu? Entahlah. Manusia kerap menyamakan apa pun dengan dirinya. Termasuk kebiasaan; kadang nokturnal, kadang krepuskular (tergantung kebutuhan). Bila sudah bertingkah agresif memanjat kandang atau menggigit tiang-tiang besi, dapat dipastikan ia sedang tak enak hati.
Karena manusia hanya bisa menebak-nebak dan menganggap rasa sepi dapat mendera siapa pun termasuk hewan pengerat garis lucu, ditaruhlah satu teman sekandang yang kemungkinan besar lawan jenisnya—menurut si akang penjual secara kurang meyakinkan—sedang kemungkinan klise lainnya: menjadi pertarungan sengit dua makhluk lucu mempertahankan teritori yang tak lebih luas dari kardus televisi 14 inci.
Bagaimana yakin dua hamster itu sepasang, bila cara membedakannya saja problematis? Keduanya sama-sama punya dua lubang; untuk penis atau vulva, serta anus. Dan untuk melihat secara kasat mata penis atau puting susu, hamster itu mesti berusia lebih dewasa, sedang ukuran kedewasaan hamster sukar dibedakan dari ukuran tubuhnya, kecuali Dev bertindak seperti petugas lab yang rajin mengukur dan mencatat. Cukup merepotkan. Tapi ia tak dapat menolak kehadiran makhluk itu sejak pandangan pertama hingga memutuskan untuk memeliharanya, selain tentu saja, kehadiran sosok Bu’ De, sang pemilik kontrakan.
Sebagaimana mata polos hewan menggemaskan, rumah kontrakan tua yang hanya diisi dua kamar, selain ruangan pribadi Bu’ De yang terpisah terali besi layaknya penjara itu, agaknya kurang menarik minat pemuda mana pun yang mendamba kebebasan, kecuali dapat ditebus dengan harga yang ramah bagi calon penghuni dengan kantong pas-pasan. Belum bila mengetahui kehadiran anak semata wayangnya yang biasa dipanggil Kakak.
Siapa pun bakal dibuat terkejut dengan kesan pertama. Dev pernah sampai terkaget-kaget, Kakak tiba-tiba muncul di samping, di antara lorong menuju kamar lantai dua, di balik sekat terali besi. Ia berteriak-teriak tak jelas, semacam racauan di dunia entah yang hanya didiami olehnya dan Bu’ De yang sabar tak berbatas. Kadang Kakak terbahak puas bagai sedang menikmati hiburan lawak. Kadang pula terdengar amarah yang melibatkan suara isak Bu’ De di dalamnya. Selain menerima jasa cuci baju dan setrika, Bu’ De kerap terhalang kesukaran. Dengan kalimat keterpaksaan, Bu’ De sesekali meminta uang bulanan di muka. Suaminya sudah lama pergi. Awalnya Dev mengira wafat. Sampai suatu hari Bu’ De bercerita, bahwa ayahnya Kakak terlalu tega meninggalkannya sebagai janda di usia relatif muda seorang diri mengurus Kakak yang masih berlaku seperti balita di usianya sekarang. “Kalau Kakak normal, dia mungkin seusia Dek Dev sekarang. Kuliah, main ….” Dengan pandangan menerawang, tersenyum getir. Ada panggilan lain yang Dev rasakan untuk kembali memperpanjang tinggal di kontrakan ini. Sejak menyambi kerja, isi kantongnya pun sudah agak lumayan.
Maka seperti malam-malam sebelumnya sehabis tanggal gajian—upahnya sebagai pelayan di sebuah restoran Jepang di siang hari—Dev menyempatkan membeli dua bungkus martabak keju kismis kesukaannya. Kesukaan Kakak. Kesukaan Molko dan De Caprio, dua hamster belang hitam putih dan kekuningan yang ternyata pula doyan mengerkah kismis bercampur mentega.
Lima potong ia berikan pada Bu’ De yang tak henti-hentinya berterima kasih. Setengah potong ia cubit-cubit kecil, setelah menyortir sekian biji kismis tersendiri. Sisanya ia lahap, seiring lahapnya kedua hamster menikmati malam penuh gula.
“Rayakanlah. Besok kalian olah raga,” dengusnya merencanakan sesuatu; mainan roda dan terowongan pipa. Sekejap ia tergelak. Tiba-tiba teringat acara band.
Sebelah tangannya kemudian meraih remote, ketika sebelah lainnya masih berlumur lemak. Bagaimana pun laparnya, usus manusia punya batas kuota untuk mencerna. Terlebih buat si pemuda ceking. Layar televisi menyala. Tak ada yang menarik untuk dikomentari selain skandal artis mengumbar aib, cuap-cuap amuk politikus perihal ideologi, bentrok intoleransi, sampai berita tawuran antar pendukung bola yang memakan korban jiwa. Saluran video musik tengah sekarat. Acara film, basi.
“Dasar fanatikus,” batin Dev. Suede benar dalam lagu “Simon”; uang, kekonyolan polah selebriti, omong kosong opini, dan semua yang dirasa tak masuk akal adalah polusi. Dunia menjadi tak lebih asyik gara-gara kaum fanatik. Tetapi sekaligus hiburan slapstick. Ia lalu mengerti: semua orang butuh pelarian dan hobi. Sama seperti dirinya. Titimangsa yang dijalaninya kini mungkin semesta paralel dari kehidupannya yang lain sebelum ini. Dari setiap ceramah, dongeng dan retorika tahun enam puluhan ala baby boomer yang mengendalikan hidup bagai boneka Marionette, dan langkah pertama sekaligus resep palu gada untuk dianggap menjadi anak baik kesayangan keluarga adalah sikap patuh dalam segala lini, termasuk selera dan cita-cita, sebagaimana jalan yang ditempuh kakak pertamanya sebagai pegawai negara.
Engsel lemari yang rusak terlihat sudah menjengul. Dev lantas membuka tutup bir. Pluk! Busa-busa fermentasi menggeliat. Seorang diri ia angkat bersulang untuk malam yang setia sunyi. Ia bukan mahasiswa miskin. Ia hanya menginginkan dunia yang lain. Dunia di luar dogma. Setahun lamanya ia habiskan bekerja sebagai pelayan di sebuah kafe. Pulang ke kontrakan dengan rasa lelah namun terasa merdeka. Tabungan setahun cukuplah untuk iseng-iseng mendaftar kuliah. Namun ada yang tertinggal selama itu. Sesuatu yang tertunda.
Ia memasang kaset di tape recorder tua.
Matanya kemudian beralih ke tumpukan buku di atas meja kayu. Ia selalu suka aroma buku; dan aroma seseorang yang menempel di kertas-kertas itu. Ingatan lalu pelan-pelan hadir. Pada suatu malam. Sisi jalan Braga.
“Lu boleh pinjam sampai entar kita ketemu lagi.”
“Memangnya mau kemana lu?”