Popisdead

D. Hardi
Chapter #7

Song VII

“Waduh itu buku sampe dipeluk-peluk.” Tiba-tiba dia sudah berdiri di pintu.

Dan Dev tidak bisa menolak makhluk astral satu ini. Kerap muncul tak diundang. Minggat tak diantar. Butuh sekitar waktu untuk menghabiskan setengah semester kuliah sampai Dev akhirnya mengetahui nama asli spesies antik dari tipikal pseudonim dinasti pembesar, Tommy alias Bustomi Sutarjo. Itu pun setelah Tommy menyerahkan kartu identitasnya untuk jaminan utang. Sesungguhnya tak bernilai apa-apa. Bisa saja palsu.

“Nih lu pegang. Gue balikin minggu depan.”

“Beneran lu. Gaji pertama gue ini.”

“Janji. Lu udah kenal gue lah. Lagian lu juga masih dapet kiriman.”

“Ya kan biaya hedon.”

“Pokoknya tenang. Ingat siapa yang nyelametin lu sewaktu di hutan,” katanya menepuk dada.

“Diulang-ulang melulu kayak radio butut. Hangus pahala lu.”

Tommy merujuk kejadian sewaktu mereka pertama kali saling kenal di ketinggian; bukan, bukan saat kondisi mabuk. Tommy adalah kawan dari kawan kerja Dev yang ikut ke Malabar; bukan, bukan nama toko martabak, stasiun, atau pantai di India melainkan nama dari sebuah gunung di daerah Pangalengan setinggi tujuh ribu enam ratusan kaki.

Entah di ketinggian berapa, saat itu tenda sudah dibuat. Beberapa siap-siap membikin api unggun. Dev dan Tommy berlagak cari sesuatu, semacam mata air, di bukit sekitar lokasi. Sesungguhnya tak terlalu terjal. Hanya saja onak belukar lebat lumayan jadi penghalang. Buat seorang pemuda yang tak pernah piknik selain ke taman kota macam Dev, belukar itu bukan lagi sekadar penghalang. Ia menjadi momok. Onak itu merimbun sampai di atas kepala. Mental Dev rapuh. Hari memang telah sampai di ujung petang. Sewaktu hampir sampai ke puncak, Dev tiba-tiba berubah pikiran. Ia ingin balik ke tenda.

Bala tak dapat dienyah. Dev yang hanya memakai sandal mal, dikarenakan licin, terperosok ke pinggiran bukit. Tangannya masih menggenggam sejumput akar, ketika itu tak lagi kuat menopang tubuhnya terlalu lama. Dev jatuh berguling-guling sampai sebuah dahan pohon menahannya. Kira-kira belasan meter, Tommy berteriak. Hari sudah menyambut gelap, dan suara-suara serangga mulai terdengar lebih nyaring daripada balas sahutan kawan-kawan lain.

“Tahan Dev! Gue turun!”

Dev teringat film yang ia tonton ketika kecil, Cliffhanger, saat adegan ketika tokoh utama yang diperankan Sylvester Stallone mencoba menyelamatkan Sarah, kekasih kawannya yang menggantung di tali karmantel, di atas ribuan kaki, di antara dua tebing curam, dan gagal. Tommy yang kekarnya tentu jauh untuk sekadar mendekati Stallone, akhirnya berhasil juga meraih tangan Dev. Beruntung ia selalu membawa tali paracord yang dililitkan, pengganti ikat pinggang. Carabiner yang biasanya hanya hiasan pun berguna. 

Sejak itu Tommy ibarat kacamata yang Dev selalu pakai. Kecuali tidur, di luar jam kerja, mereka kerap berbarengan kemana-mana. Apalagi setelah Vio menghilang. Kawan akrab satu-satunya, ya hanya Tommy. Sedang bagi Tommy, lingkup kawannya mungkin lebih luas dari pergaulan Dev. Tak heran ia disebut bagai suku nomaden yang berpindah-pindah gua, meski ujung-ujungnya pasti kembali. Hanya Tommy kawannya yang dipercaya punya kunci kamar cadangan.

Norwegian Wood, Murakami. Buku apaan nih? Kirain bacaan lu Enny Arrow doang, haha.”

“Dari mana lu, subuh-subuh udah nongol.” Dev melihat jam. Matanya sepet. Ternyata masih pukul 03.14 WIB.

“Yah, dah kayak bini gue lu. Biasalah. Donna.”

Lihat selengkapnya