Dev agak tercenung dengan ajakannya. Ia seperti masuk ke level game konsol lain dengan detail visualisasi dari kualitas resolusi HD 720p menuju 4K. Dari waktu-waktu statis cenderung masinal hingga ledakan-ledakan adrenalin kecil yang berwarna. Sempat ia pikir, mungkin Rama sedang iseng melibatkannya pada dunia baru yang sesungguhnya tak terlalu asing sebagai bentuk lain dari pelonco. Mungkin ada perangkap-perangkap kejutan.
Sejak ia datang ke sekretariat dan bercakap-cakap intens soal musik, Rama seperti menemukan lawan diskusi pelik sekaligus pemantik. Sebagai organ dari predikat fandom kampus yang kerap jadi buah bibir, hal beginian cukup rawan. Ada dua kemungkinan; harga dirinya bakal terusik, atau justru menarik Dev masuk ke dalam lingkaran.
Untungnya kala itu sekretariat sedang sepi. Dua sosok yang baru Dev kenal, Key dan Cunk, lebih asyik menongkrong di bangku luar memandangi lalu lalang para mahasiswi. Dev menatap agenda-agenda yang tertempel di dinding, dan foto-foto, dan kutipan-kutipan berbau pergerakan dari tokoh dunia yang mudah diterka sebagai hasil pencarian singkat di internet. Selama mengobrol ringan, Rama memutar lagu-lagu Radiohead dari album Kid A, seolah musik seperti itu hanya cocok dihidupkan sebagai latar; menemani saat mengerjakan tugas, penuntun tidur lalu melebur dalam rintik-rintik air yang jatuh ke Bumi, atau percakapan obsesif tentang apa pun yang mengerucut pada kultus. Sedangkan Dev tampak tak lagi sungkan melayaninya dengan narasi pembeda.
Rama menyulut kretek. Tatapannya berubah khusyuk. Telunjuknya mengganti playlist. Lagu “Whatever” berputar.
“Kayak Nirvana, Oasis juga pernah manggung lip sync.”
“Kocak.”
“Menurut lu semacam gimmick atau olok-olok?”
“Rock n roll style. Long live Nirvana. Suede muncul, kelar mereka.”
“Berkat jurnalisme ala Inggris,” kata Dev menyindir. Pers Inggris dikenal terlalu ekstrem menilai buruk atau mengagungkan siapa pun.
“Well, setiap produk ada kedaluwarsanya, Bung. Kecuali Britpop.” Rama hendak menyeruput sisa kopi di cangkir ketika di tengah-tengah obrolan, seseorang menginterupsi di depan pintu.
Gumay. Pejabat nomor satu angkatan. Tangannya sibuk menenteng selebaran. Gelagatnya terburu-buru—seperti ada revolusi. Ia mengingatkan Rama rapat sore ini. Bakal ada rencana demonstrasi. Subsidi BBM dicabut, padahal pemerintahan baru diganti. Wajahnya berubah masam melihat Rama bergeming tanpa reaksi. Ia tahu “Pangeran Biru” akan main. Rama terkekeh. Baginya, sepak bola dan musik tak bisa diganggu oleh apa pun.
Setia menunggu tim kesayangan juara artinya sama dengan keteguhan hati seorang fanatik kesebelasan The Three Lions yang tak pernah lagi mengangkat trofi dunia sejak 1966, pula simetris dengan misi pergerakan ala Gumay perihal dunia ideal: dunia tanpa ketidakadilan dan kesenjangan. Iman apa pun tak boleh goyah. Rama hanya perlu sering berceloteh Inggris dengan logat James Bond dan berharap lahir di Longsight dari seorang ayah atau ibu Anglo-Saxons agar warna British-nya totok. Namun Dev kemudian tahu, darahnya, berdarah Melayu dan hidup hanya berdua ibu tanpa tahu dan mau tahu di mana kini ayahnya berada. Rama tiba-tiba saja bercerita terbuka tanpa raut kesedihan apa pun sembari bersenandung refrain “Stop Crying Your Heart Out” dengan bibir melengkung, seolah lagu itu sah menjadi theme song hidupnya. Lagu penggugah optimisme setelah terpuruk. Dev agak menyesal bertanya soal asal. Ternyata di balik kemaskulinan, terpendam seonggok lubang. Ini kontradiksi berikutnya sosok Rama. Britpop yang santai ternyata digilai juga oleh seorang pemuda impulsif lagi disegani. Bukan metal, hardcore, atau punk rock. Begitu pun sebaliknya. Rama melihat Dev terlalu idealis dalam relativisme. Ia tak percaya sebutan-sebutan. Bagi Dev, konsepsi itu fana. Definisi itu temporal. Kata-kata hakikatnya bebas dari itu semua. Kamus hanya ‘rumah’ untuknya tidur dan bercinta. Bukankah dalam cinta pun ada semacam kesepakatan dan setiap kesepakatan bisa saja berubah? Seperti jenis burung, dia akan disebut sebagaimana dia hinggap. Entah apa yang dibaca Dev sampai ia begitu comel merepet. Jangan-jangan pengaruh alkohol.
“Begitu istilah ‘rock’ disematkan buat lagu ‘Smells Like Teen Spirit’ atau ‘Enter Sandman’, bagi gue itu sudah pop. Begitu denger ‘Bohemian Rhapsody’, lagu-lagu Bowie, Duran Duran, atau sebagian besar lagu Beatles yang dianggap ngepop dan catchy, kepala lu bakal bising, kok bisa manusia mencipta mahakarya kayak begini? Sebelum jadi lagu yang melekat di kepala, bisa jadi jalannya sangat berliku, penuh labirin rumit rawan jembalang, keras, berkali-kali bongkar pasang aransemen buat seorang musisi hebat menulisnya sampai dia depresi. Lirik lagu yang membahayakan sebuah rezim bisa jadi berasal dari lagu yang dianggap folk, country, atau ngepop. Bukan death metal, punk rock dan sejenisnya.”
“Sok filosofis lu.”
Dev tergelak. Rama tak tertarik beretorika. Ia lebih suka praksis. Aksi nyata. Tapi bukan sejenis aksi yang sering dimotori Gumay. Jabatannya sebagai wakil Gumay di himpunan lebih soal tradisi menghargai siapa yang kalah dalam kontestasi politik kampus. Dan keikutsertaannya dalam kontestasi lebih soal keisengan semata, selain siasat; ada kandidat lain yang punya kans menang sama. Untuk memecah suara, Rama sang vokalis dimajukan. Ternyata malah posisi dua.
Sepanjang menit itu Rama seperti membelah isi kepala Dev dan hendak menyingkap tabir menjadi lebih terang. “Kata Rano Karno di film Taksi, hidup lebih ramai dari filsafat dan buku-buku. Ikut gue ke stadion yuk.”
“Bola?” tanya Dev ragu.