Rinai-rinai halus menyaput warna bias merkuri di sepanjang jalan menuju arah Setiabudi. Cuaca malam yang dingin membuat London seakan hadir di kota ini. Bandung adalah London adalah Manchester adalah Sussex bagi kebanyakan para indies mania di sepanjang November.
Beberapa orang niscaya akan berlindung di balik selimut. Beberapa lainnya menjilati hidup. Hidup untuk malam. Malam yang berselimut rinai. Rinai yang mengudara dalam alunan kota.
Malam ini, musik adalah udara.
The Fantasi akan manggung. Bisa dipastikan, nomor-nomor lawas Britpop bakal mengisi sebagian set list mereka. The Fantasi bagai pahlawan lokal skena indie kota ini. Mereka adalah band cover version bawah tanah yang sukses menembus label mayor. Musik yang mereka bawakan kental dengan nuansa British. Banyak bermain-main dengan modulasi delay, echo, dan reverb yang membuat efek gema; layaknya melankoli fiksi. Pedal distorsi menjadi overdrive. Lengkap dengan amplifier Orange. Tanpa suara menggeram kecuali aksen falset androgini yang kebanyakan minum, vokalnya lebih terdengar seperti rintihan oma-oma di usia senja. Unik dan membius. Seperti perpaduan Suede dan Radiohead. Sedikit Mansun. Ini semacam mini konser album pertama mereka.
“Indie’s Party Forever. Agak ganjil. Bukannya mereka sudah tembus mayor?”
Tommy tak peduli kicauan Dev barusan. Matanya memicing ke segala arah bagai seekor elang memburu anak ayam. Kemudian melenguh. Tampaknya tak menemukan apa yang dicari.
“Kalau mau protes, ke panitianya.” Rama enggan menanggapi soal tajuk konser. Kali ini Dev bersikap positivis.
Setelah dua band pembuka tampil, The Fantasi akhirnya naik panggung. Pagelaran dibuka dengan lagu bertempo sedang, tidak lamban atau cepat. Lagu-lagu berikutnya mengalir dinamis, mengikuti kelaziman set list; berusaha menghindari dua lagu bernuansa kelam dan pelan secara berurutan.
“Gue lebih sreg mereka pas album indie. Cenderung eksperimental. Lebih merekam emosi. Lebih personal kesannya.”