Hanya Vio seorang memanggilnya dengan nama Vian.
"Vian ini temen kerjaku dulu pas di Nightingale."
"Iya, teman kerja," ucap Dev mencoba senyum, "enggak nyangka ya bisa ketemu di sini."
"Serba kebetulan banget."
Tommy tak lagi bersungut-sungut emosi kecuali merasa sedikit kebingungan, seperti isi kepalanya sedang mengingat-ingat sesuatu.
"Gimana kondisi kamu sekarang?"
Kamu?
"Tadi si lumayan, sekarang mulai kerasa pedih. Mungkin karena efek obatnya habis."
Vio menyentuh lengan Rama. Tak begitu lama, ia lepas.
"Kenapa bisa sampai gini sih?"
"Anak muda, biasa. Entar deh aku cerita. Aku mau pulang aja. Lama-lama juga sembuh."
"Diperiksa dulu sama dokternya."
"Ya udah. Gue ke depan, ketemu dokter jaga dulu," kata Dev beranjak ke luar, seperti tak ingin berlama-lama di ruangan.
"Kamu pasti belum makan. Aku beliin makanan ya. Kamu mau apa?"
"Iya nih, enggak ada apa-apa di sini. Mereka juga pasti belum makan."
Air muka Tommy tiba-tiba berubah, memelas pasi.
*
Vio menenteng plastik berisi nasi bungkus dan camilan. Langkahnya pendek-pendek. Cukup cepat berjalan di tengah koridor ketika tepat, baru saja Dev keluar dari sebuah ruangan, membuat keduanya hampir saja bertabrakan.
Lima detik kembali mereka beradu pandang. Begitu sesaat. Terlalu cepat untuk sebuah penantian.
"Udah enggak latah lagi?" Dev coba memecah rikuh.
"Sekarang nggak ada lagi yang bisa membuatku kaget, Yan. No Surprises."
"Panggil Dev, entar anak-anak bingung."
"Kebiasaan. Susah." Bibirnya mengembang, melahirkan sepasang kecil lesung pipit di bawah jernih bola matanya yang tak pernah berubah.
Mata yang lebih banyak berbicara kala itu. Malam perjumpaan terakhir di Braga. Seakan terjadi percakapan riuh di relung hati masing-masing. Tiada jawaban yang tuntas bagi sekian tanda tanya, bahkan untuk secuil kata pun, tanya tak mampu menggerakkan sepasang bibir yang kedinginan itu bicara. Hanya mata. Hanya waktu. Kemudian saling berpaling menuju arah berlawanan, menunggu salah satu tak lagi membisu. Detik meninggalkan detik. Hanya satu dentuman waktu. Hanya sekali kesempatan. Namun malam yang sunyi lebih ingin lekas berlalu.
"Kamu orangnya setia menjaga sesuatu ya." Vio melirik tas kamera yang Dev selempangkan.
Kamera itu hadiah. Dibeli di sebuah toko khusus peralatan kamera dekat Braga. Toko yang berupa rumah tua. Tak ada papan nama apa pun yang menandakan itu sebuah toko kamera. Orang akan cukup kesulitan menemukannya bila tak bertanya pada tetangga sekitar. Tak ada plang nomor rumah. Selain urusan jual-beli, pemiliknya juga menerima service. Vio mendapatkan informasi langka ini dari internet.
Pak tua yang kemudian memperkenalkan diri dengan nama Jaya, lantas mempersilakannya masuk. Suasana rumah cukup sepi. Pikirannya sempat meliar. Bagaimana bila orang ini maniak atau psycho? Sambil sedikit was-was, ia diperlihatkan beberapa pajangan kamera antik yang masih layak guna. Keinginannya untuk memberi Dev hadiah di hari ulang tahunnya lebih besar dari tabungan yang sengaja ia sisihkan dari gaji beberapa sasi. Lebih besar dari wasangka horor pada sosok Pak Jaya. Pada akhirnya ia memilih kamera itu. Kamera yang kini ada di pelukan Dev dan telah menjadi rongsok.