Popisdead

D. Hardi
Chapter #12

Song XII

Tidak ada yang selamanya di dunia ini, termasuk Nightingale. Pemiliknya memindahkan usaha tak lama setelah ia resign. Berganti kafe baru. Bangunannya sendiri tidak berubah. Tua dan kokoh. Mungkin seumuran gedung-gedung art deco lain di kota ini—yang sudah dirancang menjadi ibukota Hindia Belanda bila tak ada Depresi Besar tahun1929. Begitu pun kenangan lalu; hari-hari yang ia habiskan untuk bekerja dengan seorang gadis jelita bermata bulat, berambut hitam lurus yang sesekali dikepang dengan bibir serona jambu air, tak pernah lesap dari ingatan. Tak dipungkiri, salah satu alasan ia keluar dari pekerjaan itu karena ingin mendapatkan suasana baru setelah kepergiannya. Dan kini, tempat itu jadi sering mereka sambangi untuk berkumpul, sekadar menongkrong, meributkan remeh-temeh omong kosong sebagai upaya membunuh suntuk.

Hari ini Dev libur. Tiga sobatnya sudah menunggu.

“Akhirnya nongol juga.” Tommy menyambut.

“Ada berita apa hari ini?”

“Kemarin kena SP. Gara-gara lu tempo hari. Padahal udah minta izin waktu itu, ada urusan genting. Namanya proletar.”

Sorry. Ditraktir deh. Eh Vio ding yang traktir,” canda Rama dengan dahi terlihat codetan.

“Es teh manis?” tanya Vio secara meyakinkan. Rama dan Tommy tergelak. Dev mengangguk akur.

Ternyata dia masih ingat.

Awalnya Dev merasa sungkan bila harus kongko-kongko berempat. Meski menyadari kenyataan ironi seperti cerita dalam sinetron, ia kemudian berpikir, apa salahnya melanjutkan perkawanan. Toh Rama bukan tipe seorang yang kerap mengumbar kemesraan di ruang publik. Di depan matanya. Jika ia salah, tentu akan sangat gondok. Entah mengapa Rama seperti mengambil jarak dengan Vio, kekasihnya sendiri di luaran walau ia memang lelaki cuek bergajulan.

Apakah takut citranya akan luntur sebagai anasir fandom macan kampus? Atau ia memang tak memiliki perasaan sebesar perasaannya pada Vio? Atau jangan-jangan Rama secara insting mengetahui akan adanya perasaan itu, hingga ia bersikap biasa-biasa saja layaknya seorang teman pada Vio, di hadapannya?

Mereka tak pernah kelihatan saling menyeka remahan yang menempel saat makan layaknya orang pacaran. Tak pernah bergandengan tangan saat berempat jalan-jalan, nonton bareng, memburu buku murah di Palasari, pergi ke konser musik, apalagi bareng berdua di kampus. Malah Vio lebih sering merangkul Tommy, lalu memukulnya, dengan kekuatan dua orang perempuan kalau lelaki itu bertingkah konyol.

Intinya, Dev hanya ingin lebih sering bersama Vio lagi. Mungkin semua ini ada artinya. Ia harus mengenal Rama untuk bertemu Vio. Ia harus melewati semua kegilaan dan kekacauan untuk kembali berjumpa Vio. Menjadi sahabat seorang vandalis anarki untuk bisa sekadar menatap mata kekasihnya.

Duh!

Ia lantas berpikir, ketika akhirnya bertemu Vio setelah sekian lama, kira-kira apa yang bakal terjadi?

Ia tak bisa pasrah menerima hikmah dari peribahasa 'pagar makan tanaman' bila dan hanya bila, pagar itu telah lebih dulu ada di sana sebelum tanaman dan rerumputan tumbuh liar melilitnya.

Alih-alih semacam kudeta, anggap ini perjalanan angin menuju nasibnya masing-masing: menjadi topan ngamuk, pengembara abadi atau senyap di beranda, laksana sepotong puisi.

*

Lihat selengkapnya