Mata jernih bak telaga itu menerawang majal pada entah. Tiada rencana. Tak ada selera untuk sekadar merutuk. Tidurnya kelewat larut. Lengar. Aliran darah serasa melambat.
Segenap daya ia berusaha duduk. Mengatur napas. Tarik dalam-dalam, embuskan. Tarik lebih dalam lagi, embuskan pelan-pelan. Cara yang terlalu klise ia tahu. Tak lebih dari katarsis. Semoga cukup ampuh menatap wajahnya sendiri pada cermin. Saat ini, ia tak bisa membenci siapa pun kecuali diri sendiri.
Ia tak bisa membenci kekasihnya yang tertangkap mata menggandeng seseorang bukan dirinya. Hanya mampu membisu. Geram akan lidahnya yang kelu. Ia tak bisa marah pada kekasihnya yang mungkin pernah menyeka remahan roti di pipi, membelai rambutnya yang ikal, berbicara manis pada perempuan lain yang teramat jarang berlaku untuknya. Berharap semua hanya halusinasi belaka. Nyatanya ia tak mampu mengutuk kekasihnya tertimpa bala atau karma. Ia telah diperdaya cinta. Lantas mengutuk perasaannya sendiri.
Gunting di samping cermin itu terlihat mengilat. Menggoda matanya yang gelap, bukan dari telaga. Bukan pada siapa-siapa. Menjelma bisikan-bisikan suara paling asing, meruakkan telinga.
"Ambil diriku. Gunakan. Gunakan aku!"
*
Auditorium gaduh. Dua macan kampus terlibat perkelahian. Selain Tommy dan seorang lelaki yang berdiri di sana, benak semua orang masih bertanya-tanya. Apa pasal? Bukankah mereka berdua kawan satu band, satu geng, satu organisasi? Duo kamerad sepakat menyelesaikan perkara mereka dengan jalan berduel sampai salah satu tersungkur. Lelaki muda yang bersama Gumay terlihat hendak menggerakkan langkahnya mendekat ketika Tommy lebih dulu menyergah, "Enggak usah ikut-ikutan. Mau bakal tambah runyam urusan?" Key, Cunk dan beberapa kawan lain melingkar membentuk pagar. Ihwal kejadian berasal dari dua kabar yang masuk ke telinga masing-masing, dari kedua mulut masing-masing.
Gumay mungkin bertubuh lebih besar dan tinggi, soal kelahi jalanan, Rama jelas memiliki rekor dan nyali. Beberapa waktu setelah ia dikeroyok anak-anak motor tempo hari, ia masih menyimpan dengan baik beberapa raut pelakunya di ingatan sampai kemudian ia dapati, seseorang dengan santai jalan petentengan di kampus setelah turun dari motor dengan suara knalpot paling bedebah hendak menemui seseorang. Ia bertanya pada Cunk di mana bisa ketemu Gumay. Namanya Toni. Cunk memberitahu Rama yang sudah menatapnya dari kejauhan. Ia pastikan lagi wajahnya lebih dekat.
"Bajingan!"
Ia langsung menarik kerah jaketnya dari arah belakang. Gumay yang ada di sana serta-merta mendekat, langsung mendorong Rama.
"Goblok! Ngapain lu?"
"Lu yang ngapain, ini adik gue!"
"Adik? Dia sama gerombolan pengecutnya ngeroyok gue tempo hari di terminal!"
Gumay bertanya balik lewat tatapan mata. Toni tak menjawab. Diamnya adalah jawaban.
"Biar gue yang urus."
"Enak aja lu. Minggir!" Tangan Rama berusaha menyingkirkan Gumay yang dibalas lagi dengan dorongan. Mengakibatkan keduanya terlibat saling merangkul, saling memiting, hingga berguling-guling. Sebelum Tommy dan anak-anak lain mendekat, Gumay berbisik sesuatu.
"Lu ada apa dengan Aya?"
"Maksud lu?" Rama berlagak polos.
"Jangan anggap gue bego, njing!" Gumay menumbuknya pas di ulu hati. Namun otot perutnya telah terbiasa sit up. Tak berefek berarti buat Rama.
"Oke. Kita akan impas sampai salah satu dari kita jatoh."
"Sialan, jadi bener lu jalan sama Aya?"
"Lu udah sebut gue anjing, gue anjing. Kita selesaikan dengan cara anjing." Mata Rama menyalang.