Melani … oh Melani
Bidadari pujaan hati Fakultas Ekonomi
Peluklah sedu sedan ini dengan seayun cemeti.
Dev meletakkan nasi bungkus yang ia bawa, seiring tawa puas Tommy kala melihatnya membaca tulisan cakar ayam tercebur comberan itu di atas meja.
"Masak kalah sama hamster."
"Jadian sama cewek itu bukan buat formalitas," dalih Dev, meremas lalu melemparkan kertas itu ke muka Tommy.
"Mel lumayan cantik, kawan. Kelihatannya cewek rumahan. Mungkin bakal cocok sama lu. Setahu gue dia belum punya cowok."
"Lu udah makan?" jawab Dev cuek membuka bungkusan.
"Udah."
"Tumben."
Muka Tommy berubah masam. Mungkin merutuk dalam hati. "Kalau mau cari yang seasyik Vio, ya susah. Lagian …." ia tak meneruskan kalimatnya. Dev pun tak merespons apa-apa.
Sejak ingatan silamnya kembali pada nama seseorang yang pernah menghadiahi Dev kamera, dan ia dimintai Dev untuk menjaganya, Tommy kerap meraba-raba atas apa yang mungkin sahabatnya, Dev, rasakan. Sungguh sulit mengorek pengakuan darinya. Kalau jadi pelaku kriminal, mungkin ia akan mengakali alat tes kebohongan. Atau membuat para penyelidik frustasi. Ia tahu Dev suka mengutip Gibran: seseorang berbicara bila ia sudah berdamai dengan pikirannya. Dev tak pernah selesai, atau memang tak ingin selesai dengan pikirannya. Perihal ini, Tommy hafal betul. Pernah suatu hari Dev menceletuk pada acara debat di televisi, "Beberapa orang otaknya di bibir. Dia kira ngoceh berbusa-busa artinya berpikir."
Tapi mau sampai kapan? Bungkamnya Dev berarti melepaskan. Injury time sudah habis. Waktunya fokus hanya untuk musik.
"Perempuan cuma butuh pengakuan."
Dengan raut enggan, Dev coba menyimak.
"Mereka pengin denger secara jelas dan tegas, apakah soal maaf, atau perasaan cinta. Untuk kali ini, cinta kalah cepat oleh permintaan maaf."
"Lu jago mengarang bebas ya."
"Gue jago soal perasaan."