Lewat perdebatan alot, akhirnya diputuskan bahwa lagu yang akan mereka rekam, berbahasa Indonesia. Dev mengancam mundur bila harus berbahasa Inggris.
"Justru di luar arus kalau kita menggunakan lirik Indonesia untuk musik bergaya indie."
Bertempo sedang dengan nada riang meski syairnya liris, "Gerimis Jarum" dipilih untuk lagu pertama.
"Tapi ini kompilasi mayor," ujar Rama seperti ingin memperpanjang debat walau kalah suara. Dira yang telah menikah, lebih berpikir realistis, berdiri di pihak Dev. Apalah artinya sebuah band tanpa penopang beat yang sudah mapan. Cunk dan Key pun terlalu antusias untuk dipatahkan semangatnya dengan dalih-dalih idealisme. Keduanya sudah berkhayal jauh saat Tommy datang dengan kabar itu. Masalahnya, perlu dana lumayan segar untuk merekam satu lagu dengan kualitas baik. Mereka sudah sepakat urunan, tetapi tetap saja kekurangan. Keesokan harinya Tommy lagi-lagi datang bagai pahlawan. Kali ini lebih mirip raja minyak. Vio dan seorang gadis menemaninya, meski lalu merasa muak.
"Kekurangannya biar sama gue," kata Tommy sok cool.
"Busyet! Minyak lagi mahal bos?"
"Nyolong di mana maneh?"
"Keren. Jadi kita demo."
"Pacar baru nih?" seloroh Key pringas-pringis.
"Pacar dari Hongkong," sahut gadis yang sejak tadi mengipas-ngipas wajah dengan jemari itu. Namanya Dahlia. Mahasiswi Administrasi Niaga. Kulitnya cemerlang. Hidungnya bangir. Bibirnya setebal alis memayungi mata.
"Melani ajak gabung dong sekali-kali." Vio menatap dalam mata Dev. Lalu tersenyum. Semacam senyuman tulus seorang sahabat. Yang ditatap seperti biasa, selalu bergelut dengan pikirannya.
Petang itu langit begitu cerah. Secerah wajah-wajah muda penuh gelora. Sepenuh asa. Seperti tak acuh akan hari esok. Mereka banyak tertawa. Saling melempar canda. Bercakap-cakap hingga mentari undur pamit.
"Oke. Semua udah punya pacar. Tinggal eksekusi lagu." Dira menutup obrolan.