Popisdead

D. Hardi
Chapter #16

Song XVI

Manusia sesungguhnya tidak tahu apa yang benar-benar ia inginkan.

Kita bisa menunjuk puncak gunung, tapi tak sepenuhnya yakin bagaimana caranya menuju, jalur mana yang hendak diambil; mudah tapi minim tantangan, atau sulit lagi terjal, tetapi penuh kebanggaan dan kepuasan. Kita benci dengan pilihan-pilihan sulit. Kita lantas memotong kompas. Setelah mencapai puncak A, kita menginginkan puncak B, dan C, dan M dan seterusnya sampai harus mencipta huruf-huruf dan bahasa baru. Idealisme dalam ideologi yang diorasikan oleh ideolog tentang ide-ide akan dunia ideal adalah ekstase. Sejenis gombalisme efek candu yang dioplos jargon. Mempercayainya, tiada lain hanya tanda kita masih manusia. Yang penuh paradoks, acap dihadapkan pada dilema-dilema. Mengharap terang ketika sukar mengartikan gelap. Mendamba dunia tanpa cela tanpa yakin harus bersepakat dengan rezim tangan besi, tangan lunak, atau tangan-tangan tak terlihat. Ingin bahagia, yang sederhana, seperti hipotesis kaum menengah kota. Ingin gagah berani melawan arus, seperti perumpamaan salmon; begitu pula ikan badut; dan banyak jenis ikan di laut. Ingin merengkuh kesejatian eksistensialis lewat sebutir peluru di batok kepala. 

Apakah kita tahu apa yang benar-benar kita inginkan?

"Rombeng." Dev membatin di hadapan teks yang ditulisnya sendiri di layar. Ia hendak menekan tombol "Delete" ketika sesuatu bergetar di ponsel.

Lu udah di sana? Sorry ya kayaknya agak telat, mungkin setengah jaman lagi gue sampai. Gue bareng Vio.

Sengaja Dev tak membalas sudah sampai. Biarlah mereka datang tanpa terburu-buru, agar tidak merasa bersalah membuatnya menunggu meski inisiatif ini berawal dari mereka sendiri. Lebih dari itu, sesungguhnya Dev merasa tidak siap. Betul-betul tidak siap. 

Beberapa malam ke belakang, insomnianya kumat. Keuntungan bagi setiap pekerjaan yang membutuhkan suasana sunyi, tak membuatnya menjadi mudah menggali ide-ide baru yang lebih segar. Semacam penemuan gaya paling mutakhir yang berpotensi avant-garde. Ia mencoba, dan terus mencoba. Dari sekian gagasan yang ia tumpahkan, rasa-rasanya hanyalah pengulangan belaka dari bentuk yang sudah ada. Mungkin pengaruh dari karya lain yang ia anggap brilian. Ia hanya mengubah atau memodifikasi sedikit unsur-unsur yang masih dapat dirombak, tanpa menghilangkan tema umum yang tersirat. Bukan artinya obsesi atas segala yang murni. Lebih pada tuntutan pada diri sendiri, yang tak pernah merasa puas atas setiap proses. Kepalanya lengar.

Di saat-saat mentok seperti itu, Tommy mengiriminya beberapa kali pesan via email. Tommy yang sekarang bukanlah Tommy sepuluh tahun lalu. Kini ia tinggal di Jakarta. Punya usaha travel yang cukup berhasil. Beberapa cabangnya sudah ada di kota-kota besar. Dev berseloroh, ia bisa membantunya menulis buku motivasi dengan tajuk "10 Kisah Inspiratif Pejuang Sejati" atau semacamnya. 

Diupah laptop berlogo apel juga tak masalah.

Wkwkwk belum jadi sultan, bro. Masih merintis.

Ia memang telah merintisnya sejak kuliah: permainan catur, kartu remi, sepak bola selain jalannya 2 x 45 menit pertandingan, menyodok bola biliar, adu cupang, promosi produk MLM, sampai hati polos setiap gadis cantik yang berhasil digaetnya. Ah, bujang itu. Dev tergelak sendiri mengenangnya. Dua hari lalu ia kirim chat lagi. Ia akan main ke Bandung, hari ini. Saat ini. Seharusnya beberapa menit yang telah lalu. Isinya teramat misterius: kita jadi ketemuan ya. Penting.

Ia daras lagi tulisan itu. Matanya memicing. Makin berusia, makin kecil font, semakin ia bagai semut merah yang berjingkrak di kornea. Mungkin hanya perlu suntingan ringan. Bagus atau jelek, ia harus mulai menghargai otaknya sendiri.

Ponsel bergetar lagi.

Dev memalis ke arah pintu masuk. Dua sosok berdiri di sana, celangak-celinguk seperti mencari seseorang.  

"Tom!" Dev melambaikan tangan. Dari kejauhan, ia tak begitu yakin dengan siapa Tommy datang. Perempuan itu memakai jilbab. Semakin mendekat, ia tak dapat lebih memastikan lagi pandangannya.

Vio?

"Assalamualaikum, kawan." Tommy memeluknya bungah.

"Waalaikumsalam." Terperangah Dev melihat kedua sahabat lamanya. Tommy memanjangkan janggut dengan celana panjang di atas mata kaki. Dan Vio, sungguh-sungguh terlihat pangling. 

"Apa kabar … Dev?" Mata bulatnya merunduk. Masih jernih bagai telaga, tak pernah berubah.

"Baik. Kalian, kompak banget." Mereka saling menatap. 

"Ayo, silakan duduk." Dev masih tak lepas pandangannya pada Vio.

Lihat selengkapnya