"Perempuan yang Menunggu."
Vio tiba-tiba bicara. Mengembalikan masa lalu pada tempatnya; kenangan.
"Kayak pernah dengar," gumam Dev, masih belum yakin apa yang dimaksud. Ia tak ingin menduga-duga.
"Mungkin kamu memang pernah dengar. Kamu kan lebih suka baca puisi ketimbang prosa."
"Walau enggak pernah bisa menulisnya."
"Rendra. Sewaktu Rama dulu meminta aku maju membacakan puisi di selembar kertas kumal di acara pentas seni itu, aku kayak membaca diriku sendiri. Kertas itu seakan berubah jadi cermin. Bayangan perempuan di dalamnya seperti wajahku. Dia bilang, 'orang yang menunggu dan mengurangi waktu, hati padang tanpa bunga, udara dan batu sekali dikandungnya'. Mengimlakan bibir. Mengusik perasaanku."
Dev termangu, menatap apa pun di hadapannya selain sepasang mata itu. Kilap meja kayu. Kabel laptop. Meja kayu lain berisi sepasang kekasih yang kasmaran. Lampu-lampu gantung antik. Cincin di ... jari manis? Gambar dua wajah senyum bahagia, terbalik di layar ponsel. Membuatnya sedikit memiringkan kepala, dan menjadi jelas sudah, siapa sosok di sana.
"Kalian ….?" Dev terperangah.
Vio mengangguk-angguk kecil. Bibir tipisnya berimpitan, bagai menahan sesuatu.
"Sewaktu Rama sakit dan harus pulang kampung, tak lama berselang ibuku kambuh. Kali ini sangat serius. Kakakku menelpon sambil menangis. Betul-betul kalut saat itu. Sesampainya di rumah, ia sudah enggak ada. Ibu pergi. Hari itu langit kayak runtuh. Aku jatuh. Betulan jatuh. Ambruk ke lantai, kata saudaraku. Bangun-bangun, bayangan pertama yang muncul di depanku, wajah Tommy."
"Dia yang ada di sisi aku sewaktu terpuruk. Sewaktu aku sendirian. Dia selalu ada. Selalu hadir, Yan."
Dev tak bersuara. Matanya menatap nanar Vio yang tak kuasa menahan untuk berkaca-kaca.
"Sampai aku dengar kabar dari orang lain bahwa kondisi Rama membaik, hati aku sudah tertambat ke satu orang. Tommy. Dia juga bilang ke aku hal yang sama. Kami bingung. Selepas wisuda, kami sebenarnya sempat berpisah, tapi akhirnya ketemu lagi di Jakarta. Mungkin ini yang namanya takdir."
"Dahlia?"
"Mereka sebenarnya enggak pernah jadian."
"Kapan kalian nikah?"
"Baru semingguan lalu."
"Kenapa enggak bilang?"
Vio terdiam. Seperti mengumpulkan kata-kata yang tepat untuk diungkapkan.
"Maaf ya, Yan …."
"Maaf untuk apa?"
"Karena, enggak bilang-bilang." Nada suaranya tak yakin.
"Maaf atas nama kalian atau pribadi?"
"Ini sama-sama sulit buat kami. Tommy enggak bisa bilang ke kamu. Aku juga."
"Kenapa?"
Vio terdiam lagi. Ia ingin sekali berucap: seharusnya kamu tahu kenapa.
"Rama gimana?"
"Dia udah married."
Keduanya mengambil jeda, saling menunggu datangnya kalimat.
"Gue masih sahabat kalian kan," Dev berusaha senyum.
"Justru itu. Lambat laun kami harus cerita. Rama sudah tahu. Tinggal kamu."
Tommy datang, memelankan langkah. Melihat Dev dan Vio yang canggung, ia pun hanya terpaku berdiri di samping meja. Napasnya seperti tertahan. Tatapannya merunduk ke setiap arah, selain wajah Dev.
"Ini dia. Punya nyali kalau buat berantem, kecuali nganter undangan kawin ke sobatnya sendiri."
"Gue enggak tahu harus bilang apa," ucap Tommy bagai menahan kiloan beban di pundak.