Portal-Portal Menuju Patah

Firdhaniaty Rachmania
Chapter #3

2 - Kita Lihat Nanti

Semua anggota KKN dilibatkan dalam hal memasak. Setiap harinya ada tiga tim berisi dua orang yang bertanggung jawab untuk membuat hidangan pagi, siang, atau sore. Dua orang tersebut tidak dipilih sembarang. Satu harus masuk dalam kategori bisa atau mahir memasak, dan satu lagi tidak terlalu. Tujuannya sederhana, agar makanan yang dihasilkan baik untuk dikonsumsi, atau, tidak gagal.

Awalnya aku tidak terlalu memedulikan dengan siapa akan berkolaborasi, yang penting bersamanya aku bisa menciptakan sesuatu yang layak dikonsumsi. Kebetulan, Ravaka masuk kategori pertama dan aku masuk kategori kedua. Hingga dengan cara yang tidak biasa, ada satu hari dimana kami berpasangan. Dalam misi memasak, maksudnya.

Beberapa waktu sebelumnya Ravaka sering bertanya tentang, “Jadwal masak kita hari ini ya?” atau, “Sore ini kita kebagian masak bareng kan?” dengan sorotan antusias di wajahnya. Aku selalu bilang belum waktunya kami memasak bersama, sampai akhirnya hari ini datang.

Baiklah, tenang, ini hanya memasak.

Bersama.

Hanya memasak bersama dengan seorang lelaki yang belum pernah kulakukan sebelumnya. Ada peluang besar aku berbuat kekacauan dan mempermalukan diri sendiri. Namun sudah terlambat untuk mundur. Nama kami sudah tertulis dalam jadwal memasak, dia sudah terlanjur semangat, dan sepertinya debar yang kurasakan menandai aku pun begitu.

Aku membuka lemari es, berjongkok, dan menginspeksi isinya. Seseorang datang dari arah ruang tamu dan meniru posisiku. Karena aku tahu siapa dia, aku bertanya, “Kita masak apa ya hari ini?”

“Yang gampang-gampang aja.”

“Yaitu …”

“Mungkin goreng tempe, ikan.”

“Dan buat sayurannya, gimana kalo tumis kangkung?” tanyaku.

“Oke,” jawabnya, dan dengan cepat menambahkan, “Jangan lupa sambel, itu wajib. Kamu tau cara bikinnya?” Dia mengulurkan tangan, mengisyaratkanku untuk mengoper seikat kangkung yang baru diambil dari kulkas.

“Aku … tau. Tapi aku jarang, hampir enggak pernah buat.” Menjawab jujur terkadang tidak enak, tapi aku juga tidak mau berbohong tentang hal yang tidak aku kuasai.

“Oke, aku yang urus itu,” katanya tanpa terlihat terbebani.

Ravaka memintaku membiarkannya membawa semua bahan-bahan yang sudah dipilih. Aku berjalan di belakangnya dengan tangan kosong, menuju apa yang kusebut sebagai ‘dapur kaget’ di teras samping. Ini bukan dapur bawaan rumah, melainkan kumpulan peralatan memasak yang kami bawa dari kediaman masing-masing untuk dipakai bersama di sini. Kami tidak ingin mengotori apalagi merusak peralatan milik Ibu Ona.

Memasak dimulai, kami setuju untuk menggoreng tempe dan ikan terlebih dahulu menggunakan kompor dua tungku yang dibawa Ezar. Aku bersimpuh tidak terlalu dekat dengan kompor, mulai menggarisi permukaan tempe dengan pisau supaya potongannya sama.

Ravaka membawa kursi kayu persegi panjang ke depan tungku. Dia menuangkan minyak ke dalam penggorengan, sementara aku memotong-motong tempe di atas talenan.

“Ayo duduk sini,” ucapnya tiba-tiba.

Dan itu membuatku seketika beralih fokus. Dari tumpukan tempe, kepadanya. Ternyata dia duduk di sisi kiri dan telah mengosongkan setengah bagian kursi.

Untukku?

“Daripada di lantai gitu, dingin,” bujuknya. Melihatku masih bergeming, dia menggeser kursi yang didudukinya ke arahku, hingga menciptakan derit gesekan kayu pada lantai di bawahnya.

Oh, dia serius.

Kuselesaikan sedikit bagian tempe yang belum terpotong, lalu berdiri. Dia benar, lantainya memang dingin dan aku pun memang harus pindah ke depan kompor untuk menggoreng. Aku berjalan tiga langkah padanya, kemudian mengisi bagian kosong di sisi kanan kursi. Kulakukan semuanya dengan pacuan adrenalin.

Hanya duduk di sebelahnya, Rashma. Bukan sedang naik flying fox.

Jadilah kami duduk bersebelahan. Dalam satu kursi, sisi kanannya dan sisi kiriku hampir bersentuhan. Lengan pendek kausnya dengan lengan panjang piyama garis-garisku hampir bertemu. Hanya ada sedikit jarak di antara kami. Aku bisa saja menganggap semua ini sebagai hal biasa, tapi itu artinya aku berbohong.

Aku memanaskan penggorengan lalu menuangkan minyak. Ravaka memasukkan ikan-ikan kembung ke wajan yang sudah berasap. Untuk beberapa saat kami diam, hanya ada gemericik minyak yang terdengar.

Sampai akhirnya, Ravaka memecah kebekuan dengan melontarkan pertanyaan. “Jadi, seingatku di awal pertemuan kita, kamu bilang kamu lagi ngerjain KRM?”

KRM adalah Kompetisi Riset Mahasiswa, ajang bergengsi tahunan yang memberi peluang pada mahasiswa untuk merealisasikan ide kreatif dan bermanfaat dalam bentuk penelitian.

“Iya.”

“Sekarang udah sampai tahap mana?” Tangan Ravaka yang memegang spatula dengan lihai membolak-balik ikan yang tengah bermandikan minyak.

“Kita masih siap-siap buat pelaksanaan penelitiannya dan-“

“Tunggu,” selanya. “Berarti udah lolos buat dapet pendanaan?”

Lihat selengkapnya