“Bikin aplikasi itu nggak gampang,” lontar Ravaka ketika kami sedang beristirahat di depan sebuah masjid.
“Harus siapin UI/UX, harus ada server, harus ada orang yang manage, banyak yang perlu diatur. Sedangkan kita cuma punya satu bulan dan banyak kegiatan lain juga. Menurutku, program kerja bikin aplikasi ini kurang realistis dan belum jelas arahnya mau kemana. Kalo kita ngelakuin sesuatu yang besar tanpa tujuan yang jelas, itu cuma buang-buang tenaga. Kita ini mahasiswa, perlu lebih kritis lagi nanggepin saran-saran dari pembimbing.”
Setelah luntang-lantung berkeliling Desa Cijaya, Ravaka akhirnya menyadarkan kami semua bahwa program kerja membuat aplikasi tentang potensi desa memang masih membingungkan. Pendapatnya itu akhirnya menggerakkan beberapa dari kami untuk berdiskusi lebih lanjut dengan dosen pembimbing lapangan.
Yang mana, menjadi alasan aku dan dia kini ada dalam satu motor.
Ravaka tidak membawa kendaraan ke posko. Nala seperti sengaja “menyatukan” kami ketika dia menawari, “Udah, Ravaka sama Rashma berdua pake motor urang ya.” Aku mulai merasa Nala melihat sesuatu di antara kami, yang membuatku semakin bertanya, apakah memang ada sesuatu di antara kami?
Haqi dan Risya selaku ketua dan sekretaris turut pergi juga, mereka sudah melesat di depan kami. Sepanjang jalan dalam motor Scoopy coklat yang dikendarai Ravaka, aku didefinisikan oleh rasa canggung, berdebar, dan rasa lainnya yang belum berani kuberi nama.
Aku harus menyibukkan diri dengan memandang kumpulan pohon-pohon raksasa di sepanjang jalan dan meresapi atmoster dingin. Jika tidak, aku akan terlalu fokus pada jaket bomber hijau army bergambar mawar merah yang beraroma vanila di hadapanku.
“Ini terlalu ngebut nggak?” tanyanya, di tengah gempuran angin.
Kuresapi laju kami. “Enggak, oke kok.”
“Kadang aku nggak sadar kalo terlalu ngebut, soalnya aku jarang bonceng orang. Terutama perempuan, selain ibu dan kakakku,” katanya, dengan suara yang sesekali teredam lalu-lalang kendaraan lain. “Sejujurnya, kamu ngingetin aku sama kakakku. Kalian mirip.”
Tidak menduga dia akan berkata itu. “Mirip gimana?”
“Baik, lembut, agak introvert, selalu berusaha sopan ke siapapun. Kamu banyak bilang makasih dan maaf. Kakakku juga gitu.”
“Oh, emm—makasih.”
Dia terkekeh. “Tuh kan.”
Ini pertama kalinya ada orang yang mengatakan aku mirip dengan kakaknya. Dipikir-pikir, manis juga. Menandakan bahwa pada diriku, Ravaka menemukan seseorang yang dikenalnya.
“Rashma …” panggilnya kemudian. Suaranya lebih pelan.
“Iya?”
Diam beberapa saat. Aku jadi takut dengan apa yang akan dia ucapkan.
Apa? kenapa?
“Kamu tahu nggak siapa orang yang aku maksud pas kita main never have I ever waktu itu?”
Oh tidak, dia membahas ini.
Otakku kosong, tidak tahu harus menjawab apa.
Getaran-getaran yang membuatku ingin meledak kembali menghampiri, semakin menggelegar pada setiap detik yang berlalu dan lama-lama menjalar menjadi sensasi menggelitik di perut. Kugigit bibir bawah, menepis dorongan untuk menyebutkan namaku sendiri, karena itu kemungkinan salah dan seratus persen mempermalukan diri.
“Hmm…” Aku bergumam pelan untuk memberinya tanda aku sedang berpikir keras.
Bagian bawah rahang Ravaka terpantul di kaca spion. Aku tidak bisa melihat secara utuh wajahnya, namun aku bisa mendengar suara kekehan yang dia keluarkan dengan renyah. “Aku bantu deh,” katanya.
Ravaka tidak langsung melanjutkan, dia berdiam dulu beberapa saat, seperti menunggu detik yang tepat untuk membocorkan apa yang ada di pikirannya. Jantungku berdisko lebih keras. Kesunyian seperti ini menggetarkan jiwa, sama seperti detik-detik diam sebelum pengumuman juara lomba.
Antisipasiku mencapai puncaknya, aku jadi-
“Orang itu kamu.”
…
Tiga
Kata
Meledak
Tolong
Semacam kejatuhan bom atom, aku mati dalam kebekuan. Tidak, bukan mati. Aku sangat hidup, hanya saja semua berhenti. Kami sedang melaju di atas motor, tapi bagiku semuanya menjadi diam. Hingga yang bisa kudengar paling nyaring adalah gema dari ucapannya di kepalaku.
Orang itu kamu.