Program kerja kami lebih terarah sejak pertemuan dengan dosen pembimbing, pada hari yang tidak akan pernah bisa kulupakan.
Ternyata yang dosen pembimbing maksud adalah pembuatan prototype aplikasi, bukan aplikasi yang sudah seratus persen jadi. Kami pada dasarnya diarahkan untuk menjadi inisiator, peletak batu pertama dalam upaya mempromosikan sektor-sektor unggulan di Desa Cijaya ke kancah yang lebih luas secara digital. Kami setuju, itu lebih mungkin untuk dilakukan.
Maka seterusnya kami memasuki era tiada hari tanpa program kerja. Terkadang menjelajahi berbagai tempat untuk bahan membuat prototype aplikasi potensi desa, terkadang disibukkan dengan dua program lainnya: mitigasi bencana dan hari kemerdekaan.
“Jalan-jalan kecil kalau bisa dimasukkin, biar akurat petanya. Pastiin juga garis hasil tracking di HP kalian nggak putus-putus,” ujar Ravaka sembari menunjukkan layar ponselnya kepada anggota tim yang berbaris di depan posko. Rambut bervolumenya yang kusukai tersembunyi di balik topi snapback kelabu.
Dalam balutan rompi lapangan navy, kami semua sudah siap sedia. Bordiran “KKK Tematik SDGs” terpampang jelas di bagian punggung, dan nama masing-masing di bagian dada kiri. Banyak gelora semangat setiap kali berseragam rompi ini.
Pagi hari ini didedikasikan untuk menggarap program kerja mitigasi bencana yang dikoordininasi oleh Ravaka dan aku. Desa Cijaya dekat dengan salah satu sesar besar di Bandung, menjadikannya area yang rawan gempa bumi. Ravaka melihat itu, dan mengajukan ide pembuatan peta jalur evakuasi gempa. Sedangkan aku melihat bahwa masyarakat tidak hanya perlu mengetahui kemana harus menyelamatkan diri, namun juga bagaimana menghadapi guncangan mental saat bencana terjadi. Karenanya, aku mengajukan penyuluhan managemen psikologis ketika gempa sebagai sub program kedua.
Jadi, ya. Kami yang sudah bersatu, bersatu lagi dalam program kerja mitigasi bencana, dan tentu kami suka itu.
Pembuatan peta sebagian besar diurus oleh Ravaka, itu jelas. Namun kami yang berasal dari jurusan lain turut berkontribusi dalam proses tracking jalan agar tidak memakan waktu terlalu lama. Sebelum memulai, Ravaka memberi pelatihan singkat tentang cara menggunakan aplikasi survey lapangan yang disebut Avenza Maps, menentukan area terbuka sebagai shelter, dan hal-hal lain yang tidak terlalu familiar bagi kami yang bukan mahasiswa pemetaan.
Dengan wajah serius dan nada bicara yang stabil, Ravaka menegaskan, “Kalau ada warga yang nanya kita lagi ngapain, jawab aja lagi survey jalan. Jangan ada yang sebut soal jalur evakuasi atau gempa, supaya nggak bikin mereka panik. Oke?”
“Oke!” jawab kami serempak, paham dan patuh.
Masih tidak bisa kupercaya. Lelaki yang jiwa kepemimpinannya benderang itu adalah pasanganku sekarang. Apa aku bermimpi? Jika iya, tolong jangan bangunkan.
Tampak dengan jelas ini bukan pertama kalinya Ravaka memegang kendali atas sesuatu yang besar, sesuatu yang dia minati. Ravaka terlihat sudah biasa dalam memberi arahan dan menjadi bijaksana. Rasa banggaku yang sudah banyak semakin meroket untuknya.
Setelah pelatihan selesai, kelompok dibagi dua untuk berkelana ke dua RW. Aku, Ezar, Risya, dan Zia bersama kelompok yang dipimpin oleh Ravaka, sedangkan sisanya bersama kelompok Haqi.
“Barudak, ati-ati nya, mun aya nanaon langsung kabaran di grup,” perintah Haqi.
“Siap Pak Ketu!” Risya memberi jempol.
Dinar mengusap-usap kedua tangannya penuh semangat. “Yooo siap bergerak!”
Seperti yang selalu dilakukan sebelum memulai kegiatan di luar, kami membentuk lingkaran untuk melakukan salaman khas tim. Dimulai dari Haqi, secara berurutan kami menjulurkan tangan, mengepalkannya, dan menyatukannya ke tengah.
“Water Great?” seru Haqi dengan lantang. Itu sebutan lucu tim kami.
“Jaya selama-lamanya!” Serempak kami mengangkat tangan ke angkasa lalu bertepuk tangan dengan riuh.
Ah, aku senang sekali berada dalam tim ini. Sebelas orang yang saling melengkapi dan nyaman untuk bekerja sama. Aku tidak pernah merasa sedekat ini dengan tim besar manapun sebelumnya. Ini tim KKN terbaik yang bisa kudapatkan.
Di saat yang lain mulai bergerak meninggalkan posko, Ravaka menghampiriku di dekat gerbang.
“Kamu pake ini.” Kepadaku Ravaka menyodorkan topi yang sedari tadi dipakainya. Aku mengernyitkan dahi hingga dia menambahkan, “Biar nggak kepanasan, bisa jadi selesainya sampai siang.”
Lihat, pacar siapa ini.
Kuambil topi pemberiannya dengan sepenuh hati. “Makasih ya.” Segera kupakai, dan meskipun aku jarang sekali memakai topi, yang satu ini langsung kunobatkan sebagai favoritku.