Portal-Portal Menuju Patah

Firdhaniaty Rachmania
Chapter #6

5 - Begini Selamanya

“Halo, saya Rashma, mahasiswa KKN dari Universitas Insan Pelita. Saat ini saya sedang berada di Narerya Cactus, salah satu UMKM unggulan di Desa Cijaya. Yuk, ikuti saya untuk—em … menjelajahi lebih dalam tempat ini!”

Aku mempertahankan senyum sampai Nala mengacungkan jempol dan menurunkan kameranya.

Kami sedang berada di sebuah rumah kaca berisi ratusan kaktus. Untuk kepentingan konten aplikasi potensi desa, kami mengunjungi berbagai tempat terkenal di Cijaya untuk mengambil foto, video, dan mewawancarai pemiliknya. Semua anggota tim mendapat giliran untuk membuka video. Bagianku kali ini adalah video untuk sektor UMKM.

“Sip.”

 “Udah bagus belum La?” tanyaku sembari menghampiri Nala.

Nala menunjukkan ponselnya. “Nih, coba Ibu Peri liat aja.” Teman-teman perempuan, terutama Nala dan Caila, sering memanggilku seperti itu.

Kutonton video yang Nala tunjukkan dan segera mendeteksi ekspresi wajahku yang terlalu kaku, ditambah menuju akhir ada perkataanku yang tersendat. Harusnya bisa lebih baik lagi dari itu.

“Hmm, ulang lagi ya, boleh?” pintaku.

Sok sok.”

Aku mundur, kembali berdiri di antara dua meja yang menopang jajaran kaktus kecil dalam pot-pot hitam. Kuulangi semua yang sudah kuucapkan sebelumnya, tapi kali ini benar-benar berusaha untuk tidak melakukan kesalahan. Ternyata butuh tiga kali percobaan sampai aku merasa cukup puas dengan hasilnya.

“Makasih ya Nala, abis ini kamu lanjut ambil footage?”

Nala mengangguk seraya menunjuk ke belakangku. “Aku mau rekam tulisan di banner itu. Bagus kayaknya mah buat di bagian awal video ya?”

Kutengok yang Nala maksud, itu adalah banner besar bertuliskan nama tempat ini. “Oh iya, itu bagus buat pembuka.” Sekilas mataku menangkap seseorang yang juga berada di sini bersama kami. Dia sedang sibuk bermain dengan kamera di balik sebuah rak di sisi lain greenhouse.

“Oke Nala, aku mau liat-liat ke bagian yang lain ya,” kataku, sebelum beranjak untuk menghampiri orang itu.

Kumasuki area yang tersekat rak rotan dan berdiri tidak jauh di belakangnya. Kuperhatikan Ravaka bergeser perlahan mengikuti gerak horizontal kamera di tangannya yang menyorot tanaman hias, tertata rapi di dalam rak. Jika tempatku membuat video tadi dipenuhi tanaman yang beragam warna dan bentuknya, di area ini hampir semuanya kaktus hijau bermahkota bunga merah.

Ravaka bergerak kesana dan kemari dengan lihai. Dia tampak sangat fokus mengambil footage, sampai tidak menyadari kehadiranku. Tidak melirikku sedikit pun.

“Masih banyak kah yang perlu direkam?” tanyaku, membiarkan Ravaka tahu aku sedari tadi memperhatikannya.

Tanpa mengalihkan pandangan dari kamera, Ravaka menjawab, “Satu lagi, aku mau shoot bagian yang paling cantik. Kamu diem dulu bentar, bisa?” Suaranya terdengar sangat datar dan … tajam. Tidak biasanya dia bicara dengan nada seperti itu padaku.

“Oh, oke.”

Mungkin memang seharusnya aku tidak mengganggu Ravaka yang sedang fokus seperti ini.

Aku berniat untuk meninggalkan Ravaka. Sebaiknya aku biarkan dia menyelesaikan tugasnya dulu, dan menghampirinya lagi ketika sudah selesai. Tetapi sebelum aku bergerak, Ravaka memutar badan dan menyorotku dengan kameranya.

“Eh?” Aku membelalakan mata.

Jemari Ravaka menekan tombol kamera berkali-kali, dan aku masih mematung kebingungan di hadapannya.

“Sip, udah keambil yang paling cantiknya,” ujar Ravaka, sebelum memecah ekspresi serius menjadi tawa.

Perutku geli, senyumku tidak tertahankan. Sukses sekali dia menjahiliku.

Ravaka akan mengangkat kameranya lagi, aku lekas menghabur padanya sambil cekikikan. “Stop, hei!”

Aku berusaha merebut kamera itu dari tangannya, namun Ravaka menangkis. “Apa? Aku enggak salah kan?” katanya, masih diselingi tawa jahil. Dia mengangkat kameranya jauh dari jangkauanku.

Sinar mentari yang menembus atap transparan di atas kami semakin membuat cerah bibirnya yang secara alami sudah bersemu merah. Semakin kami berperang imut untuk memperebutkan kamera, semakin lebar deretan gigi-giginya yang tampak. Semakin lucu.

Akhirnya aku menyerah, menghentikan gurauan karena takut kami terlalu berisik. Dengan pipi yang masih terasa panas, aku bilang, “Aku enggak secantik itu ya.”

Lihat selengkapnya