“Ras, Ras.” Seseorang menepuk pundakku. “Apel-nya udah selesai.”
Aku menoleh pada asal suara di belakangku. Seorang perempuan berkacamata yang mengenakan kemeja hijau di dalam jas almamater. Ombre kecoklatan pada ujung rambut lurusnya lebih kentara akibat tersorot kilap surya. Malva.
Kuamati sekitar, tempatku berada saat ini.
Aku sedang berdiri di halaman depan sebuah gedung dengan tulisan “Balai Integrasi”. Banyak pegawai berseragam abu-abu necis yang berangsur meninggalkan halaman untuk masuk ke dalam gedung. Aku mengenakan batik merah muda bergambar burung merak, celana panjang hitam, dan jas almamater yang sama seperti Malva. Poin minus, aku tidak menyimak sedikitpun wejangan Kepala Balsi (singkatan dari Balai Integrasi) dalam apel pagi barusan.
Ini kenyataanku sekarang.
Bukan lagi ada di masa KKN. Itu sudah selesai pada 26 Agustus yang lalu.
Saat ini aku berkedip, bernapas, dan hidup beberapa bulan setelah masa-masa indah itu berakhir. Tiga bulan kemudian, lebih tepatnya. Sekarang sudah minggu kedua November.
Dan menyadari itu menyakitkan.
Bukan karena aku tidak suka menjadi bagian dari tempatku berada saat ini. Bukan karena aku tidak ingin melaksanakan magang. Aku hanya rindu setiap bagian KKN. Setiap kebersamaan kami yang hangat terekam dengan segar di kepala. Terkadang aku benci dengan fakta bahwa hidup selalu bergerak maju, saat yang sebenarnya aku ingin membekukan waktu dan bersemayam dalam momen-momen tertentu saja. Aku berharap bisa kembali lagi ke masa itu.
“Kamu bawa lagi makanannya, Fi?” ujar Malva pada seorang mahasiswi bertubuh mungil dengan rambut yang diikat satu. Ia mengenakan batik hitam bermotif parang dengan celana kulot berwarna serupa. Itu Slafi, teman magangku juga.
“Bawa, yang kayak biasa.” Slafi kemudian mengeluarkan sebungkus makanan kucing dari balik saku jasnya. Setelah menyobek ujung bungkusan, Slafi berjalan agak merendah mendekati pintu masuk, menyodorkan bungkusan itu ke depan.
“Alsi, meng meng … Sini …” Slafi memanggil seraya menjentikkan jari.
Seekor kucing yang tampak hampir terlelap di bawah kursi tunggu langsung membuka mata. Dengan cergas ia berlari menghampiri Slafi yang menuntunnya mendekati pintu gerbang. Sambil berjalan antusias di kaki Slafi, Alsi tidak berhenti mengeong. Aku mengikuti Slafi dan Malva yang sudah duluan berjongkok mengitari semen penyangga gerbang. Slafi bersiap menuangkan makanan kucing itu di atasnya.
Alsi langsung menyosorkan mulut ketika Slafi masih berusaha meremas isi bungkusan. “Buset, sabar Neng!” kaget Slafi. Alsi tentu tidak menghiraukannya dan segera menyambar semacam bubur merah muda yang teremas keluar. Dilahapnya dengan beringas.
Sebenarnya, ada dua kucing penghuni Balsi. Satu betina dan sedang hamil, satu lagi jantan dan datang hanya sebentar-sebentar. Kami tidak tahu nama kucing-kucing itu. Jadi aku mengusulkan untuk menyebut kucing jantan sebagai Bal, dan kucing betina sebagai Alsi. Kami memiliki asumsi yang sangat kuat bahwa Bal adalah kucing yang menghamili Alsi. Meskipun nyatanya mereka tidak pernah semesra itu di ruang publik.
“Wah, lapar banget yang kamu, Si.” Malva memainkan ekor panjang Alsi yang centil bergerak kesana kemari.
Aku mengelus-elus bulu Alsi, kombinasi abu-abu putih yang lebat dan halus. Alsi sama sekali tidak terganggu dengan tanganku di punggungnya, atau tangan Malva di ekornya. Dia mengkhayati momen sarapan sepenuhnya.
Kucing menjadi salah satu hal yang mendekatkan kami bertiga. Malva adalah orang pertama yang kusebut teman dekat di kampus, maka aku sudah lebih dulu tahu dia memelihara kucing bernama Mizo di rumahnya. Akhir-akhir ini aku tahu kalau ternyata Slafi juga pecinta kucing, dan tampaknya dia yang paling dermawan, rutin membelikan Alsi makanan dengan uangnya sendiri.
Aku menyukai kucing sejak aku tahu kucing itu ada. Mereka menggemaskan, ekspresif, dan terkadang tidak terduga. Mirip seperti manusia setelah kupikir-pikir. Meskipun begitu, tidak pernah sekalipun ada kucing yang bisa kupanggil sebagai milikku, karena satu alasan besar: Mama dan Kakakku tidak suka kucing. Mereka memandang kucing—dan pada dasarnya segala jenis hewan—sebagai sesuatu yang kotor dan merepotkan. Tampaknya dalam hal menyukai kucing, aku lebih mirip dengan Papa.
“Kucing siapa sih ini, duh, lahap banget ya makannya, kayak lagi kesurupan,” kata Malva, berpindah menepuk-nepuk pelan kepala Alsi dengan jemarinya.
Apa yang Malva lakukan itu mengingatkanku pada seseorang yang juga pernah melakukan hal yang sama.
Ravaka.
Dua hari sebelum keberangkatannya ke Nottingham, kami pernah menghabiskan malam minggu dengan seekor kucing yang berkeliaran di kampus. Saat itu kami baru selesai makan malam bersama di restoran ramen. Karena malam masih terbilang dini dan kami belum rela berpisah, kami lanjut bersantai di selasar depan fakultas teknik sambil meminum susu kotak dingin. Lalu seekor kucing mendekat, secara spesifik mendekati Ravaka yang menyambutnya dengan terbuka. Dia menggendong kucing putih kurus itu, lalu mendudukkannya di pangkuan. Ravaka melakukan gerakan tap tap tap pada kepalanya, dan kucing itu mengeluarkan suara purring.
Itu adalah hari ketika dia bilang, “Kayaknya aku suka kucing karena physical touch aku terpenuhi karena ngelus kucing deh.”