Saat istirahat tubuhku melakukan tugasnya untuk menyantap bekal bersama Malva dan Slafi di ruang pembimbing wanita, di mejaku. Aku ada bersama mereka, hanya saja tidak sepenuhnya. Selalu ada bagian diriku yang mengudara ke tempat lain.
Aku mengudara ke sebuah flat di Nottingham. Di salah satu jendelanya, apakah Ravaka sekarang sedang menatap salju yang turun dan memikirkanku? Atau apakah dia sedang tidur? Dia bilang itu adalah cara tercepatnya untuk merasa lebih baik saat dilanda masalah. Apakah dia bahkan bisa tidur nyenyak saat ini? Atau dia sama sepertiku, mengudara ke tempat lain karena tidak senang dengan realita?
“Ras, halo? jadi mau nggak?” Jentikan jari Malva di depan wajahku membuatku terperanjat dan keluar dari lamunan. Ditarik kembali ke tempatku berada secara paksa. Kusimpan sendok yang ternyata dari tadi kugunakan untuk mengaduk-aduk tekwan pemberian Bu Yama tanpa memakannya sedikit pun. Aku mencoba untuk menyalurkan perhatian pada dua orang di depanku.
“Mau … apa?”
“Pergi ke curug sama aku besok?” tanya Malva, menodongku dengan pertanyaan yang tidak kusimak awal mulanya.
Tetapi kemudian aku sadar Malva memiliki ketertarikan besar pada hal-hal yang berhubungan dengan alam. Dia pernah mengaku akan sangat senang jika bisa seumur hidup tinggal di sebuah pondok yang dekat dengan air terjun. Di sana dia bisa dengan tenang membuat gelang manik-manik dan menyimak huru-hara media sosial dengan ditemani kucing kesayangannya. Karena itu, pasti barusan Malva mengajakku untuk ikut pada salah satu sesi menjelajah alam yang menjadi rutinitasnya.
“Hmm … kayaknya aku enggak dulu Mal. Lagi—ehm, enggak pengen ke tempat-tempat yang jauh dulu.”
“Enggak jauh eh, aku mau yang di sekitaran Bandung aja kok. Ke curug yang ada di Tahura. Ayo ih temani aku …” Malva memohon dengan kedua tangannya.
Aku benar-benar tidak suka mengecewakan orang, apalagi teman dekatku sendiri. Tetapi aku tidak punya kesanggupan untuk pergi. Kemana pun, sungguh. Satu-satunya tempat yang akan kutuju jika aku memiliki kekuatan berlari secepat kilat adalah tempat Ravaka berada saat ini. Untuk yang lainnya aku tidak berselera.
Kepalaku menggeleng pelan. “Maaf banget ya Mal, aku skip kali ini. Lagi pengen di tempat kos aja.” Dan menghilang. “Mungkin next time ya.” Kupaksakan memberi senyum supaya Malva bisa yakin dengan alasanku.
“Yaudah deh.” Dilihat dari caranya menekan bibir, Malva kecewa. Namun dia langsung beralih. “Kalo kamu gimana Fi?” tanyanya seraya mencubit tangan Slafi.
“Hmm, sebenernya males sih,” sahut Slafi berterus terang. “Gua mau nerusin drakor.”
Malva berdecak dan mengibaskan tangannya. “Ayo pending dulu nontonnya Fi. Bayangin main di air, di bawah air terjun …” Malva menarik napas sembari memejamkan mata. Bicaranya dibuat semakin dramatis. “Udara segar … banyak suara burung … lempar-lempar batu …” Dia membuka mata. “Masa enggak?”
“Tar deh gua pikirin dulu.”
“Emang lagi nonton apa sih Fi?” tanya Malva, tapi segera mengacungkan jari. “Tunggu, aku tebak. Sudah bisa dipastikan genre thriller, atau misteri, atau kejar-kejaran nyari penjahat terus detektif cewek dan detektif cowok saling suka.”
“Emang yang begitu gua sukanya. Kan lu tau gua nggak suka kalo nonton yang tokohnya menye-menye,” terang Salfi. Aksen khas Jakarta-nya terdengar lebih jelas.
“Iya deh, cewek superior nontonnya enggak menye-menye,” celetuk Malva yang mendapat tepukan di bahu dari Slafi. Malva berpura-pura meringis.
“Ya udah, tar kabarin ya Fi kalo jadi ikut, dan harus jadi ikut sih.”
“Heem…” gumam Slafi, menutup kotak bekal hingga terdengar bunyi nyaring.