Portal-Portal Menuju Patah

Firdhaniaty Rachmania
Chapter #10

9 - Malam Kemerdekaan

Agustus 2023

Kami diundang Pak RW untuk menghadiri malam perayaan sebelum tujuh belas Agustus. Semua tengah bersiap-siap memakai rompi lapangan, kecuali Ravaka. Dia baru bangkit lagi menghadap laptop, selepas ketiduran di tengah-tengah tugasnya.

Ravaka berkata dengan suara agak berat. “Urang banyak yang harus dikerjain buat beresin petanya, skip dulu nggak ikut keluar ya. Sekalian jaga rumah juga.”

Aku ingin tidak setuju dengan ide itu. Akan sangat kurang jika semua orang ikut pergi, sedangkan orang favoritku tidak. Namun aku tidak bisa menutup mata tentang banyaknya beban kerja Ravaka. Dia harus menyelesaikan peta, mengedit video potensi desa, dan mengatur konten di media sosial. Belum lagi urusan-urusan di luar KKN, seperti kepanitian orientasi mahasiswa baru, proyek website pemetaan bahasa bersama dosen, dan tentu saja, persiapan ISEP. Orang tersibuk yang kukenal, itu Ravaka.

Teu nanaon, sok lanjut Rav,” jawab Haqi memberi persetujuan, lantas keluar dari rumah, diikuti Dinar, Ezar, dan yang lainnya.

Aku berjongkok di depan meja Ravaka. Tanda-tanda lelah kentara di wajahnya. Biarpun begitu, dia masih bisa tersenyum padaku. “Have fun,” ujarnya.

Aku tersimpul sedikit, lalu bilang, “Aku tadi udah masak sama Saras, dan udah sisain buat kamu, soalnya tadi kamu nggak ikut makan bareng. Jangan lupa dimakan ya.”

“Oke, thank you babe. Aku kemungkinan besar bakal lanjut tidur lagi, tapi iya aku bakal makan juga nanti.”

“Ravakaaa … sambil jaga rumah, tolong angkatin air ya …” celetuk Saras yang kepalanya muncul dari balik pintu. Saat ini air di kamar mandi memang sedang tidak mengalir.

“Iya, kalo sempet.”

Saras berseru, “Arigatou!!” kemudian pergi.

Aku bangkit dan melambaikan tangan seraya keluar dari rumah. “Dah …”

“Dadah …” balas Ravaka melambaikan tangan juga, bersiap kembali merebahkan diri.

Dari depan rumah Bu Ona, gerombolan orang sudah tampak memenuhi lokasi. Tidak jauh, hanya perlu melewati beberapa rumah, berjalan lurus, dan sampai. Aku beserta teman-teman perempuan lainnya langsung mencari tiga teman lelaki kami yang telah sampai duluan. Ternyata mereka duduk manis di jajaran kursi paling depan, dekat pelataran rumah yang telah disulap menjadi panggung musik. Aku mendapatkan kursi paling kanan di sebelah Haqi. Seterusnya aku melakukan yang semua orang lakukan di sini, menonton. 

Lampu-lampu bercahaya kuning temaran tergantung di sekitar rumah. Di panggung, ada seorang bapak-bapak dengan ikat kepala yang memukul kendang sambil menggerakkan kepalanya ke depan dan ke belakang. Perempuan dengan gaun merah bergemerlap sedang melantunkan suaranya yang merdu. Ada warga yang hanya menonton di pinggir, ada juga yang sedang berjoget di sekitar panggung.

Beberapa anak-anak tiba-tiba mengerubungiku. “Kak Rashma!” kata mereka serempak.

“Oh, halo semuanya! Kalian ada di sini juga ya ternyata,” ucapku ramah.

Lusi yang dikuncir dua berseru, “Kak Saras! Besok main lagi ya!” Di kursi belakang, Saras menjawab dengan dua jombol dan senyum khasnya yang menyipitkan mata.

“Kalian nggak apa-apa malem-malem ada di sini? Dibolehin sama ayah ibunya?” tanyaku. Jika aku masih sekecil mereka, Mama tidak akan pernah membiarkanku menginjakkan kaki keluar rumah semalam ini.

Mereka semua mengangguk.

“Ya udah, hati-hati ya semuanya.”

Imad, anak cowok yang paling sering mengajakku bermain lompat tali, tiba-tiba merengkuhkan tubuhnya lebih dekat. Dia agak berbisik saat bilang, “Kak, kak, katanya ada yang mabok.”

Aku mengerutkan alis. “Oh ya? Di mana?”

“Di belakang sana tuh,” tunjuknya pada celah samping rumah yang gelap, di belakangku. Kuamati, namun tidak terlihat ada siapapun di sana.

 “Ya udah kalian hati-hati ya, jangan kesitu,” kataku. Lantas anak-anak itu pergi untuk menonton lebih di bagian depan.

Aku menoleh ke kiri. “Kita harus ada di sini sampe jam berapa Qi?”

Haqi menyalakan handphone-nya, tertera pukul 21.45 malam. “Lima belas menit lagi we.”

Baiklah, itu tidak begitu lama. Mungkin aku akan coba mengamati hal lain. Seperti … Oh! Ada kucing tuxedo yang sedang berjalan santai melewati kerumunan warga. Dan di bagian paling kiri-

“Ahhh!” pekikku.

Sakit.

Ada yang keras mengenai kepalaku.

Aku pikir itu anak-anak lagi, tapi saat aku menoleh ke kiri menyiapkan senyuman …

Seorang pria dewasa. Dengan seringai menakutkan. Badannya sempoyongan, dan dia terus melihatku.

Cepat-cepat kualihkan pandangan ke depan. Apa yang dia lakukan? Apa yang barusan dia lakukan padaku?! Tanganku mengepal dan bergetar. Dari ujung mata bisa kulihat dia masih ada di sana. Mengeluarkan suara antara tawa atau erangan yang mengirim sinyal tegang pada bulu romaku.

“Ras …” sayup-sayup suara Haqi. Tapi aku tidak bisa menjawabnya atau melihat ke arahnya.

Aku harus pergi dari sini.

Dengan sisa keberanian yang ada, aku bangkit dari duduk. Tidak melihat siapapun, tidak mengatakan apapun. Hanya berjalan. Orang-orang segera memberi ruang untukku lewat, seakan mereka tahu sedetik pun aku tidak boleh lagi ada di sana.

Aku terus berjalan tanpa menoleh lagi ke belakang. Bahkan saat para Karang Taruna berusaha menghentikanku dengan, “Teh, sini! Ayo ikut bakar-bakar!” aku hanya tersenyum sekilas dan tetap berjalan memasuki gerbang rumah Bu Ona.

Ravaka yang baru menyimpan ember di bawah aliran kran menyadari kedatanganku. Kebingungan di wajahnya. “Kok udah balik?”

Aku memaksakan senyum lagi. “Pengen aja.” Cepat-cepat kubuka sepatu.

“Kirain karena kamu nggak bisa jauh dari aku,” ujarnya mengajak bercanda.

Namun aku masuk ke rumah tanpa membalasnya. Aku membuka pintu kamar, masuk, dan duduk di kasur. Kupegang bagian kepala yang terkena benturan. Tidak sesakit itu, tapi mengapa aku lebih merasa terpukul di dada?

Aku bangun lalu berjalan bolak balik. Ada suara yang bilang tidak bisa kuberitahu Ravaka soal ini. Akan berakhir buruk. Tetapi dia akhirnya akan tahu juga, untuk apa disembunyikan?

“Rashma?” Suara Saras memanggil. “Ras?”

Aku keluar dari kamar, memasang wajah yang lebih tenang. Kudekati Saras yang sedang berdiri di tengah-tengah ruang tamu. “Eh, Sar, hai-”

Saras menghampiriku lebih cepat dan memelukku tanpa basa-basi. Ketika aku mengaitkan tangan ke punggungnya, baru kusadari yang dia lakukan ini adalah yang paling ingin kudapatkan sejak tadi. Dia mengelus-elus punggungku. “Gapapa, Rashma, gapapa …” bisiknya pelan, hanya bisa didengar kami berdua. Aku menguatkan pelukan kami. Tanpa terasa ada isakan yang keluar, membasahi kerudung Saras.

“Kenapa?” Suara Ravaka tiba-tiba muncul, membuatku otomatis segera melepas pelukan. Ravaka berdiri dengan tanda tanya besar di ambang pintu. Alisnya sontak menaik ketika melihat pipiku basah. “Kenapa?” ulangnya lagi, dengan intonasi yang semakin meninggi, satu langkah mendekati kami.

Lihat selengkapnya