Aku masih bisa magang sehari setelah hari terburuk itu: kemarin. Alsi jelas masih marah, tapi setidaknya aku tidak menyakiti siapapun lagi dengan kakiku. Kubiarkan hari ini berlalu tanpa benar-benar ada aku di dalamnya. Aku tak ubahnya cangkang kosong yang mengikuti kemana saja arus bergerak. Sekarang arus itu membawaku untuk memasak bersama Slafi.
Slafi dikelilingi aroma sabun mandi ketika aku bergabung dengannya di depan kompor. Dia sudah dalam mode santai, berbalut kaus abu-abu dan celana panjang bintang-bintang. Aku seperti biasa selalu mengenakan piyama setelah mandi sore. Motif hati kali ini.
Tungku kompor yang akan digunakan Slafi untuk memasak tumis bakso kecap sudah dinyalakan. Dia mulai menuang minyak goreng ke dalam wajan, ketika aku masih membujuk tungku sebelah kiri untuk menyala. Satu, dua, tiga kali aku memutar tombolnya, tetap nihil mengeluarkan api. Yang berhasil muncul hanyalah suara desis gas yang terpantik.
“Bisa?” tanya Slafi, menyadari kesulitanku.
“Susah …” Kuputar lagi tombol kompor itu lebih dalam, namun tetap gagal. “Nggak bisa nyala lagi,” kataku, mulai tidak sabar.
Slafi menaruh spatula yang sedari tadi dipegangnya. “Sini sini.”
Aku mundur memberinya ruang. Slafi mengembalikan tombol ke posisi mati, lalu dengan remasan tangan yang terlihat mantap, dia menekan tombol itu sekuat tenaga ke arah kiri. Sekali percobaan masih belum menyala. Tapi Slafi mencoba lagi sampai bara merah kebiruan akhirnya terpercik dan melingkari tungku sebagaimana mestinya.
Aku bertepuk tangan kecil atas kemenangan Slafi versus kompor. “Makasih Fi!” Bukan pertama kalinya aku mengatakan itu pada situasi yang sama.
“Hmm, harus minta dibenerin ke Mbak Ami nih. Awal-awal kayaknya enggak susah gitu deh nyalainnya.” Slafi kembali pada tempatnya dan mulai memasukkan potongan-potongan bakso.
Aku menuang beberapa tetes minyak dari botol kuning yang sudah setengahnya kosong untuk menumis bawang. “Iya, kalo nggak salah, semingguan ini baru susah dinyalain.”
“Tapi nggak apa-apa dah, lagian kita nggak bakal lama lagi di sini,” katanya santai sambil mengoyak-oyak bakso di dalam wajan dengan spatula.
“Iya, enggak lama lagi,” ulangku, memasukkan setumpuk pakcoy ke dalam penggorengan sebagai cara mengenyahkan pengap dari kenyataan yang dilontarkan Slafi. Karena, “Aku suka di sini.” Sedikit siraman air ditambahkan dan aku berkata lagi, “Sekarang aku tau bedanya ngekos sendiri dan ngekos bareng temen. Ngelakuin hal-hal bareng ternyata berkesan buat aku. Terutama ini, aku belajar banyak soal masak dari kamu.”
Kami banyak berbagi tips dan trik seputar memasak, meski tentu saja aku mendapat lebih banyak dari Slafi. Salah satu yang kuingat, dia pernah bilang bahwa sesuai saran ibunya, mencuci beras jangan dilakukan langsung pada panci penanak nasi, supaya tidak menimbulkan goresan pada permukaannya.
“Kamu bisa masak, Ras. Udah ada dasarnya yang bagus,” kata Slafi seraya menuangkan kecap ke dalam masakannya. “Kalo enggak, mana mungkin kamu bisa nyiapin masakan sendiri, enak juga kok.”
Baru bisa masakan yang ditumis-tumis saja. Dan untuk itu pun aku harus berterima kasih pada video-video memasak yang sejak masa magang banyak kucari di TikTok. Dan, tentu, familiaritas dengan bumbu-bumbu dapur dan teknik-teknik memasak meningkat karena pengalaman selama KKN.
“Asiknya di-review bagus sama Chef Slafi.”