Portal-Portal Menuju Patah

Firdhaniaty Rachmania
Chapter #16

15 - Photobox

September 2023

“Ini satu-satunya baju warna pink yang aku punya,” ujar Ravaka, merentangkan ujung kemeja yang dipakainya untuk ditunjukkan padaku. Dia berdiri di depan motor besarnya seperti siswa yang sedang disidak seragam.

Aku menelitinya dari ujung kaki sampai kepala. Dia menjadikan kemeja berwarna baby pink sebagai luaran, dan karena tidak dikancingkan, kaus oblong putih di dalamnya dapat terlihat. Kalung silat masih dan akan selalu menggantung di lehernya. Ada pula lanyard merah yang Ravaka selalu pakai ketika pergi keluar, di sanalah dia mengaitkan kunci kosnya. Ditambah celana jeans berwarna beige sebagai bawahan, yang kulihat adalah Ravaka dengan citra soft boy. Tentu, tampan seperti biasanya.

“Keliatan bagus di kamu, aku suka,” pujiku, karena memang itu nyatanya. “Thank you ya kamu udah mau pake baju yang warnanya samaan kayak aku.”

Senang sekali Ravaka mau berseragam denganku, meskipun itu berarti menggunakan warna yang bukan andalannya. Ravaka adalah biru, hitam, merah, dan hijau army. Tidak pernah pink, kecuali sekarang. Untukku dan untuk agenda istimewa kami hari ini.

“Ya kali ngelewatin kesempatan pake baju couple sama kamu,” sahutnya, lalu memperhatikan dalam-dalam. “Kamu juga cantik banget pake cardigan pink itu, by the way.”

Aku menghamburkan senyum sambil menyipit. Meski sangat manis mendengarnya, aku menghentikan Ravaka untuk memberi pujian lain agar kami tidak terlambat dalam acara temu kangen dengan teman-teman KKN.

Di perjalanan, Ravaka banyak membahas kesukaannya pada otomotif. Ravaka bilang sudah sejak lama dia mendambakan motor yang dimilikinya sekarang. Beberapa waktu yang lalu motor besar dengan model retro ini harus diservis karena ada masalah pada mesinnya yang menyebabkan beberapa kali mogok. Itu menjadi masa yang penuh tekanan untuk Ravaka, sebab motornya ini adalah benda yang paling disayanginya.

Setiap ada motor dengan model unik yang melintasi kami, Ravaka memberitahuku apa jenisnya. Aku mendengarkan tuturannya dengan saksama dari jok belakang yang pijakan kakinya lebih tinggi dibandingkan motor matic yang sering kami gunakan semasa KKN.

“Motor gede yang kalo boncengan sampe nunduk gitu, supersport. Kayak punya Ezar yang dibawa pas KKN.”

“Yang modelnya ‘nyeleneh’ kayak yang di depan sana disebutnya crossover.”

“Kalo itu motor gede klasik, cirinya punya tangki bensin yang bulet gitu di depan.”

Aku cukup familiar dengan jenis yang ketiga. “Dulu Papa aku juga pernah punya motor klasik gitu. Aku inget pas kecil suka duduk di bagian tangki depannya.” Ya, masa-masa ketika dunia masih sesederhana, dimana hal yang paling membahagiakan untukku saat itu adalah bisa berjalan-jalan atau diantar ke sekolah oleh Papa ketika ia tidak sibuk bekerja. Dengan tubuh mungilku, ada di motor sebesar itu rasanya seperti menaiki kuda yang gagah. Aku selalu duduk di depannya, mengarungi jalanan yang kadang berkelok atau berlubang, dan tidak bisa berhenti tersenyum. 

“Wah, motor kayak gitu gacor sih!” seru Ravaka.

Jarak menuju tempat pertemuan memang agak jauh dari indekos kami yang masih berada di sekitar kampus. Banyak waktu untuk mengobrolkan banyak hal. Tanpa direncanakan sampailah kami pada obrolan yang tidak terlalu ringan.

“Kayaknya dulu pengasuhan orang tua aku bisa dibilang agak keras, terutama dari ayah. Kalo aku main, terus lupa nggak ngabarin atau pulangnya kelamaan, kadang dihukum gitu deh jadi nggak boleh pergi kemana-mana. Tapi kalo ibu aku lembut sih, semakin dewasa aku ngerasa semakin deket sama ibu.”

Dulu Ravaka menyatakan perasaannya padaku saat kami sedang dalam perjalanan dengan motor, sekarang dia menceritakan lebih banyak tentang keluarganya di motor juga. Mungkin ada sesuatu tentang berada di atas motor yang membuat Ravaka nyaman untuk terbuka tentang dirinya.

“Kedengerannya cukup berat ya saat itu.” Aku harap dia bisa merasakan empatiku untuk Ravaka kecil. “Yang kamu rasain saat itu, gimana?”

“Ya, dulu aku terima-terima aja sih. Kayak, yaudah, emang aku sadar aku yang salah. Mau gimana lagi. Tapi kalo dipikir-pikir sekarang, harusnya ada cara lain yang lebih baik sih daripada ngasih hukuman dikurung gitu.” Ravaka mengatakan itu dengan santai lalu bertukar tatap denganku di kaca spion. “Kalo kamu dulu gimana?”

Desiran angin menghamburkan rambutku. Sambil menyelipkannya kembali ke belakang telinga, aku mengungkapkan, “Kalo aku … kayaknya agak strict dalam hal penjagaan pas masih kecil. Buat bisa ngelakuin sesuatu atau pergi ke tempat yang aku mau, perlu usaha lebih buat dapet izinnya. Tapi aku sekarang memaknai itu sebagai cara orang tua aku buat bikin aku aman. Sekarang mereka udah lebih banyak ngasih kebebasan.”

Seraya membelokkan stang motor mengikuti tikungan, Ravaka bilang, “Bukan Rashma ya kalo nggak liat sisi positifnya.”

Ya, mungkin. Tidak salah kan untuk mencari makna baik dalam hal-hal yang terjadi di hidup kita? Aku tahu dunia tidak sempurna, malah, bisa jadi sangat berantakan. Pandangan positif membantu kita untuk mampu berjalan terus ke depan.

“Sampe.” Ravaka menghentikan motor.

Aku turun dan mengamati bahwa kami berada di parkiran sebuah kafe bergaya industrial dengan konsep semi-outdoor. Kafe ini didesain memiliki dua lantai yang terbuka. Sepertinya karena itu disebut Rooftop Cafe. Di bagian samping dan belakang terdapat hamparan luas sawah yang sedang segar-segarnya.

Aku meraih tali helm, namun Ravaka menghentikanku. “Eits, eits,” cegah Ravaka. “Kan itu tugas aku.” Dia mengambil alih untuk mencopot kaitan tali helm di daguku, dan mengangkat pelan-pelan helm itu agar lepas dari kepalaku.

Dia sudah sering melakukan itu tapi aku masih tetap ingin mencair seperti es krim yang terpapar hangatnya mentari. Dan semakin bertambah ketika dia menggenggam tanganku sembari berjalan menuju pintu masuk kafe. Aku suka setiap kali Ravaka menunjukkan dengan terang pada dunia bahwa aku miliknya dan dia milikku.

Barisan kursi dan meja ditambah sebuah panggung live music mengisi lantai satu. Aku dan Ravaka menaiki tangga yang cukup tinggi untuk mencapai lantai dua, tepatnya menuju meja besar paling ujung. Beberapa menit kemudian wajah-wajah yang familiar duduk melingkar, seperti yang selalu kami lakukan di rumah Bu Ona. Hanya saja sekarang berpindah tempat di sebuah meja dengan banyak tebaran angin dan pemandangan persawahan yang memanjakan mata.

Mangga divisi acara, mau bahas apa kita hari ini?” Haqi yang mengenakan jaket bomber dengan rambut yang sepertinya baru dipotong, mempersilakan aku dan Saras untuk kembali mengarahkan pertemuan kami seperti dulu lagi. Tentu saja, bukan tim KKN Cijaya kalau tidak ada sesi bonding.

“Bahas life update sama rencana lima tahun ke depan yuuuu Ras?” kata Saras memberi ide. Dia duduk di seberangku, memakai manset tangan yang menjadi ciri khasnya.

“Ayo, kedengerannya seru! Kayak dulu yaa, ceritanya muter bergantian,” sahutku.

Risya yang duduk di sebelah Saras dengan slingbag bentuk dumpling bersorak, “Hayu hayu hayu!”

Semuanya tampak semangat untuk bercengkerama kembali. Terasa sudah lama tidak bertemu mereka, saat sebenarnya baru seminggu yang lalu kami bermaaf-maafan, berpamitan, dan menangis bersama. Di hari terakhir KKN itu, kami menyempatkan untuk bertukar hadiah secara acak dengan satu sama lain dan membuat playlist berisi lagu-lagu yang mengingatkan kami dengan masa KKN. Keluar dari rumah Bu Ona dan mengucapkan sampai jumpa kepadanya juga terasa mengharukan.

Lihat selengkapnya