Aku seharusnya membujuk dia untuk pelan-pelan dalam hubungan kami.
Aku ingin bisa memercayai ucapan Ravaka bahwa kami tidak menjalani hubungan ini terlalu cepat. Namun tidak bisa dipungkiri ada banyak suara dalam diriku yang berkata bahwa kami akan baik-baik saja, jika kami menyimpan banyak hal untuk nanti, jika kami tidak buru-buru. Terkadang, sesuatu yang sedikit lebih bermakna dibandingkan yang banyak. Sedikit membuat kita menanti dan bertahan untuk bertemu lagi di kemudian hari. Tidak semuanya harus kami lakukan sebelum dia pergi.
Apa yang akan berbeda jika aku mencoba untuk berkata tidak?
Di kafe yang bernuansa antik dan estetik ini, kami berniat mengabadikan momen. Dalam balutan pakaian berwarna seragam, aku dan Ravaka memasuki photobox kayu bertirai krem. Kami tetap mendiskusikan beberapa pose untuk dilakukan. Ravaka masih tetap menyarankan gaya menyilangkan jari seperti sebelumnya. Hidungnya masih tetap terpukul olehku. Kami masih tertawa-tawa tentang hal itu.
Namun, ketika dia mencoba membuatku merangkulnya, aku menolak. “Aku nggak mau gitu posisinya,” kataku, sembari menarik kembali tangan dari punggung dan pundaknya.
“Nggak apa-apa, Ras,” katanya, berusaha meraih lagi tanganku.
Tidak berhasil, karena aku mundur, membiarkan ada sedikit jarak di antara kami. “Enggak, Rav.”
Senyum Ravaka luruh. “Kenapa?”
“Aku … emm, gaya yang lain aja ya.”
“Iya, tapi kenapa?” tanyanya lagi.
Aku beralih menatap layar dengan detik yang semakin berkurang. Segera kuatur senyum dengan dua jari di dekat pipi. Cahaya flash menyala dan Ravaka bahkan tidak melihat ke arah kamera.
Ketika layar menunjukkan proses pencetakan foto, dia masih menatapku dalam kebingungan. Banyak pertanyaan pasti muncul di benak Ravaka saat ini. Tapi dia tidak mengatakan apa-apa. Hanya berdiri di sebelahku, dengan kekecewaan yang nampak jelas pada wajahnya. Dan aku belum berani untuk berkata lebih.
Dua stip foto akhirnya keluar, aku segera mengambilnya. Foto terakhir tampak tidak terkondisikan, dengan aku yang memaksakan senyum dan Ravaka yang sama sekali tidak tersenyum. Selebihnya oke.
Aku bilang, “Ini, satunya buat kamu,” seraya memberikan satu lembar foto kepada Ravaka agar dia bisa melihatnya juga.
Ravaka melihat sekilas foto yang kupegang untuknya, lalu mengambilnya dengan lemas. “Ya udah, ayo keluar,” katanya, datar.
Kami duduk di tempat yang sama dan memesan hidangan yang sama seperti sebelumnya. Hanya saja, sekarang Ravaka lebih banyak menunduk dibanding menatapku atau berbicara dengan semangat seperti yang selalu dia lakukan.