Sudah lebih dari dua minggu sejak hari terburuk itu terjadi.
Aku masih bertahan tidak menghubungi Ravaka dan sepertinya sakit ini semakin terbiasa kubawa sehari-hari. Sesaknya selalu mengiringi kemanapun aku melangkah dan apapun yang aku lakukan, tapi aku semakin lihai dalam mencegahnya muncul ke permukaan. Aku masih bisa turut serta menghabiskan hari Sabtu ini bersama Slafi dan Malva, dan sepertinya aku memang butuh. Saat tidak sendirian, raungan di dalam diriku berkurang nyaringnya.
Malva tidak tinggal bersama kami di kos Cendana karena rumahnya masih terletak di Bandung. Dia sampai di kos kami pada jam 1 siang. Kami tengkurap menghadap laptop Slafi, menonton film horor di siang bolong. Lantai kamar Slafi berlapis corak kayu dan ada lemari hitam besar di sebelah kasur. Di dalamnya kami beberapa kali berteriak serempak saat jumpscare berinstrumen keras muncul tanda terduga.
Filmnya berlatar pesantren. Saat melihat adegan para santri, terbersit di pikiranku bahwa mungkin dulu Ravaka pun pernah merasakan ritme kehidupan yang kurang lebih sama. Memang bukan persis pesantren, Ravaka bilang dia pernah menjadi bagian dari sebuah boarding school yang mengharuskan siswanya tinggal di asrama. Aku tidak pernah punya pengalaman seputar itu, tapi aku tahu Ravaka di sana memiliki rutinitas keagamaan yang lebih intens dan momen dengan kawan-kawan yang lebih banyak. Di sanalah Ravaka pertama kali menjalin hubungan romantis. Sebelum bersamaku.
Slafi menutup laptopnya. “Dah ya, selesai.” Dia yang paling serius dan banyak diam selama menonton tadi. Aku banyak berteriak dan menonton dari sela-sela jari, sedangkan Malva ekspresif memberi komentar untuk setiap adegan tidak masuk akal di film.
“Lumayan serem. Aku kasih rating 7, kalian?” tanyaku.
Malva menimbang-nimbang sambil mengetuk-ngetuk dagunya dengan telunjuk. “Hmm-”
“Enam,” jawab Slafi tanpa basa-basi. “Bagus idenya, tapi musiknya bikin kuping sakit.”
“Setuju. Tapi kalo aku enam koma lima deh.” timpal Malva. “Yang aku sayangkan, kenapa ending-nya kayak males gitu. Tokoh utamanya oke sih, cuma ending-nya aku kureng.” Malva sekaligus merebahkan diri di kasur, lalu menutup mata. “Huahhh, sekarang istirahat dulu.” Dia mengeluarkan suara mendengkur yang dibuat-buat.
Aku menyandar ke dinding sambil mengecek ponsel. Masih tidak ada pesan baru di room chat bersama Ravaka. Dia belum menepati ucapannya yang bilang akan menghubungiku sewaktu-waktu. Apa dua minggu belum cukup untuk membuatnya merindukanku?
“Bangun nggak lu? jangan tidur di sini!” tandas Slafi. “Gua kan mau pergi bentar lagi.” Dikirimlah oleh Slafi sebuah bantal yang terbang menuju muka Malva.
“Jalan-jalannya kita nggak diajak nih Fi?” celetuk Malva, mengenyahkan bantal dari mukanya.
“Enggak,” tegas Slafi. Singkat, padat, jelas.
Aku sedikit tersimpul melihat mereka, namun tanpa terduga Malva melempar bantal itu juga kepadaku. Mengenai dada dan aku bercanda dengan berpura-pura membuat wajah kesakitan. Tidak terlalu berpura-pura juga sebenarnya, karena yang sakit memang ada di sana.
Untuk alasan yang lain.
Kulempar lagi bantal itu hingga menggoyahkan Slafi. “Buset,” kagetnya.
“Hahaha, bagus!” pekik Malva bertepuk tangan.
“Oops, sorry Fi. Enggak bermaksud sekeras itu,” kataku merasa agak bersalah namun ingin tertawa juga melihat mata mungil Slafi jadi melebar.
Slafi menyimpan bantal itu di dekatnya, tidak meneruskan pertarungan. “Udah ah, gua ada janji sama kakak gua. Tar malah telat.”
Malva mengulet. “Ahhh … nggak seru malah ninggalin duluan.”
“Udah, hus hus! Kalian pindah aja gih ke kamar Rashma!” usir Slafi selagi memakai hoodie-nya.
Slafi pergi tak lama kemudian, hingga aku dan Malva mau tak mau harus berpindah lokasi. Kamar Slafi berbentuk kotak, sedangkan kamarku berbentuk persegi panjang. Kamarku sedikit lebih panas karena letaknya di mulut lorong dan tidak langsung terpapar udara di luar balkon seperti kamar Slafi. Malva membiarkan pintu kamarku sedikit menganga untuk memberi jalan masuk bagi udara.
Selepas cukup lama bercakap-cakap tentang keseruan The Eras Tour (Malva juga salah satu penggemar Taylor Swift), sekarang aku dan Malva sama-sama sedang berkutik dengan ponsel. Malva berbaring di pinggir kasur dengan satu sisi tubuhnya, satu tangan menopang kepala sementara tangan lainnya menggulir Twitter. Aku di seberangnya melendoti bantal pada sandaran kasur.
Aku sedang menonton video seorang wanita yang membacakan puisinya di Instagram. Entah bagaimana, cara perempuan itu meramu diksi mendorongku untuk terus menonton. Wanita berambut ikal dengan logat Mexico itu pada dasarnya menceritakan seseorang yang meninggalkannya. Bagaimana hatinya patah karena hal itu. Aku menyimaknya mengutarakan kehilangan dengan sungguh-sungguh.
“Ras …” panggil Malva tiba-tiba, setengah bergumam pelan.
“Hmmm …” Aku masih terus menonton. Perih dari puisinya semakin dalam, tidak ingin kulewatkan apa saja yang perempuan itu katakan. Mungkin, mungkin, karena dia melakukan upaya yang hebat dalam mengartikulasikan apa yang aku rasakan juga. Ingin terus kudengarkan setiap katanya yang berdenting serupa di dalam diriku.
“Kamu sama Ravaka gimana sekarang?”
Deg.
Kutekan tombol pause.
Aku beringsut membenahi posisi bersandar agar lebih tegak, menelan ludah. Pertanyaan Malva seketika mengundang beribu kebingungan, seperti diserbu banyak rudal. Jika aku diam terlalu lama, maka aku akan meledak. Jika aku menghindar, aku tidak tahu harus pergi kemana. Tidak tahu harus berkata apa. Tidak tahu mulai dari mana.
Jawab saja, Rashma!