“Jadi Slafi udah tau sekarang?” Malva melontarkan pertanyaan sembari membuka bungkusan es krim coklat. Asap dingin menguar lalu tersebar dan menghilang di udara. Slafi di sisi lain sedang berusaha mengeluarkan es krim mochi rasa kopi dari tatakan plastiknya.
“Kemaren udah aku kasih tau,” jawabku, menonton Malva dan Slafi menikmati es krim mereka.
Kursi besi depan minimarket dekat Balsi adalah spot istirahat makan siang yang sering kami tempati. Terutama jika ada yang ingin dibeli untuk menyertai bekal makanan, atau jika sekadar ingin suasana yang lebih terbuka saat waktu istirahat magang. Pemandangan yang tersedia adalah jalanan besar yang ramai dengan hilir mudik kendaraan dan pedagang kaki lima.
Di tanganku hanya ada sebotol minuman dingin rasa stroberi. Tidak ada es krim untukku hari ini, dan mungkin untuk beberapa waktu ke depan. Tepat saat dingin es krim menyentuh lidahku, saat itu jugalah aku akan meleleh dalam ingatan tentangnya.
Tentang kami yang duduk sambil menikmati es krim di lantai depan sebuah minimarket, pada hari yang melelahkan setelah merekam video di beberapa objek wisata di Desa Cijaya. Tentang aku yang mencoba menjadi tidak biasa dengan memilih es krim rasa mi goreng, dan tentang dia yang ikut merasakan es krim itu, lalu mengatakan, “Unik, tapi bukan buat dimakan sering. Enaknya sekali-kali aja.” Lihat kan? Aku bahkan tidak perlu memakan es krim untuk bisa mengingatnya.
“Gimana Fi kesan pesan dari cerita Rashma? Mantap kan? Mantap in a bad way ya maksudnya,” ucap Malva di sela-sela upayanya menjilat es krim.
Slafi menelan apa yang ada di mulutnya, lalu mengatakan, “Iya gua kaget sumpah. Si Rashma kan selama ini banyak cerita tuh bagian manis-manisnya dari hubungan mereka, dari sejak ketemu pas KKN sampe akhirnya LDR. Terus dua mingguan ke belakang kok banyak diem ya ni anak? Jujur, gua udah agak feeling lagi ada masalah, tapi nggak mau suudzon, ya udah nggak gua tanya. Eh, tiba-tiba kemaren cerita begitu.”
“Aku emang selama dua minggu itu enggak pengen cerita ke siapa-siapa. Belum siap rasanya,” kataku, membela diri sendiri.
Slafi sedikit mengerutkan mulutnya. “Duh, kasian amat. Nahan sendiri selama itu.”
“Untung ya aku waktu itu nanya pas kamu lagi nonton video.” Malva beralih ke Slafi. “Iya Fi, jadi awal aku bisa nanya tuh karena aku perhatiin kok Rashma menghayati banget nonton video yang kedengerannya sedih gitu. Ada apa nih? Kan curiga ya. Ternyata, terkuak fakta yang menciptakan bjrot moment.”
Malva jadi yang paling humoris di antara kami bertiga. Dia tahu cara mengartikulasikan hal buruk apapun menjadi sedikit lebih lucu. “Ini maaf, tapi aku pengen bahas lagi. Nggak apa-apa kan Ras?” Tanya Malva, beralih sekejap dari es krim yang sudah setengah terlahap.
Aku mengiyakan dengan anggukan.
“Masih jadi pertanyaan buat aku, kalo emang dia lagi stres ya, banyak masalah di sana, kenapa dia nggak cari dukungan ke temen cowoknya aja? Maksudnya kan sesama cowok juga bisa dijadiin support system.” Malva mengerutkan wajah, tangannya banyak bergerak menebas udara. “Kalo sekadar curhat atau minta dirangkul mah ke temen cowok juga nggak apa-apa kan? Kenapa dia malah nyarinya temen cewek di saat dia sadar dia udah punya kamu?”
Satu hal hal lain tentang Malva, dia suka mendalami. Bahkan dia bisa sampai pada sesuatu yang tidak kupikirkan sebelumnya. Jika kami bertiga tersesat di hutan, Malva kemungkinan besar adalah orang yang muncul dengan banyak cara untuk bertahan hidup. Lalu Slavi menjadi yang benar-benar memimpin perjalanan kami. Sedangkan aku adalah pihak yang banyak memberi semangat dan berkata “Kita bisa melewati semuanya” saat yang bersamaan menjadi yang paling ketakutan.
Dari apa yang Malva bilang, aku harus menjawab, “Mungkin karena saking tertekannya, Ravaka jadi nggak bisa mikirin jalan lain yang lebih baik.”
Nyatanya saat ini Ravaka yang sedang benar-benar tersesat. Ada jalan yang bisa menyelamatkan kami. Tetapi sekarang Ravaka sedang fokus pada dirinya. Aku hanya perlu menunggu, beberapa saat, sampai Ravaka cukup kuat untuk melihatku kembali. Lalu nanti aku akan melambaikan tangan sekeras mungkin, menuntunnya keluar dari hutan belantara itu agar dia bisa berlari lagi padaku.