Aku di dalam kamarku. Gelap lagi, di atas kasur lagi. Aku meringkuk memegang lutut seperti gulungan kertas kusut yang menatap kosong ke dinding. Tidak benar-benar menatap pada apapun, karena jiwaku sedang hiruk-pikuk di dalam. Pertanyaan berseliweran bak lebah yang berdengung menyebalkan. Memenuhi kepalaku, menarikku kesana-kemari. Puluhan, ratusan, mungkin tak terhingga.
Apa yang membuat Ravaka tidak menuju padaku ketika dia butuh seseorang?
Apa dia sedang memikirkanku sekarang?
Kenapa dia tidak menghubungiku?
Dia bilang makanan di sana tidak terlalu enak, apa dia sudah menemukan yang cocok di lidahnya?
Kenapa dia tidak memberitahuku saat kondisinya sedang ada di puncak terburuk?
Baju apa yang dia pakai sekarang?
Apa dia berkali-kali mengecek namaku di ponselnya seperti aku yang berkali-kali mengecek namanya di ponselku?
Sedingin apa di sana?