Portal-Portal Menuju Patah

Firdhaniaty Rachmania
Chapter #22

21 - Sebelum Terbang

September 2023

Aku menopang pipi pada pinggiran jendela mobil. Kuperhatikan gedung-gedung pencakar langit datang dan berlalu bersama iringan lagu cinta yang terputar dari earphone di telingaku. Layaknya pemeran utama dalam adegan sinematik, ada sesuatu yang besar menungguku: Ravaka dan keberangkatannya menuju Nottingham.

Tengah malam nanti, Ravaka sudah akan terbang. Aku punya kurang dari 18 jam bersamanya, sebelum tidak melihatnya secara langsung selama satu semester ke depan. Ravaka sangat benar dengan menawariku untuk datang hari ini. Tidak akan kulewatkan kesempatan untuk mengucapkan sampai jumpa padanya.

Ajakan Ravaka datang sehari sebelum dia pergi duluan ke Jakarta. Meski agak mendadak, aku tetap mengusahakan untuk ikut mengantarnya. Mama langsung merespon dengan khawatir saat aku meminta izin. Untung saja akhirnya Mama membolehkanku pergi dengan satu kondisi, yaitu kakakku harus turut menemani. Sebagai kakak yang memedulikan keselamatan adiknya, Mbak Elana membiarkanku singgah di rumahnya dan mengantarku bertemu Ravaka.

“Tempatnya apa tadi Mo?” tanya Mbak Elana. Mo adalah kependekan dari Rashmo, panggilan sayangnya padaku.

“ITC Mangga Dua, Mbak.” Mall itu menjadi tempat pertemuan kami. Tidak langsung di bandara karena Ravaka perlu membeli beberapa hal yang belum sempat disiapkan sebelumnya. Dia ingin aku juga ikut menemaninya berbelanja.

“Kita pernah ke situ nggak sih Pih?” Mbak Elana menoleh pada suaminya, Mas Lais, yang sedang fokus menjalankan mobil.

“Hmm, ITC Mangga Dua … belum kayaknya, Mih.”

Berarti mengunjungi mall yang satu ini sama-sama pertama kali untuk kami bertiga.

Beberapa saat kemudian, kami sampai di ITC Mangga Dua. Aku memberi tahu ketibaan kami pada Ravaka saat berada di parkiran. Katanya dia dan keluarganya masih mengurus proses check-out di hotel, sehingga kemungkinan besar mereka memerlukan waktu lebih lama untuk bisa sampai di sini, yang juga berarti, kami harus menunggu.

“Mbak, Mas, kita masuk duluan aja ya. Katanya nanti Ravaka nyusul setelah selesai check-out dari hotel,” ajakku, sambil meredam rasa tidak enak yang muncul karena aku sangat ingin impresi pertama Ravaka baik di mata kakak dan kakak iparku. Datang terlambat dari perjanjian dan membuat kami menunggu, itu tidak terlalu baik.

Mbak Elana memberi ekspresi berkerut yang sering ia munculkan ketika sesuatu tidak berjalan dengan seharusnya. Suaranya agak melengking ketika berkata, “Lho, kok belum selesai sih check-out nya?” 

“Emm … mungkin beres-beresnya banyak Mbak.” 

Dari balik kacamatanya, Mbak Elana memutar mata. “Ya udah, kita masuk duluan.”

Aku berjalan di belakang mereka menuju pintu masuk, sambil berharap cemas Ravaka tidak akan lama-lama.

Mendekati empat puluh menit, kami masih berjalan-jalan tanpa arah di dalam pusat perbelanjaan yang besar dan penuh gelombang manusia. Terdiri dari beberapa lantai, aku merasakan nuansa lampau dari mall ini. Lantai keramiknya merah bata, produk dagangan ramai berjejalan di area depan kios-kios, warna krem pada dindingnya tampak memudar. Ada bagian dari tempat ini yang mengingatkanku saat berbelanja di pasar Tanah Abang bertahun-tahun yang lalu bersama keluargaku.

Ravaka mengabariku dia sudah ada di perjalanan. Namun rambut Mbak Elana yang sengaja dicatok untuk hari ini sudah tampak mengusut, dan Mas Lais mulai berkeringat di dahinya. Lalu aku, mulai lelah dikelilingi orang-orang asing ini dan ingin segera menemukan wajah Ravaka di antaranya.

Akhirnya itu terjadi setelah kami bertiga memesan makanan di A&W. Sambil membawa koper super besar, Ravaka melambaikan tangan padaku yang sedang menyedot root beer. Lelah yang sempat kurasakan karena menunggu lama, seketika luruh, dan sebagian besarnya karena Ravaka menggunakan sweater kucing pemberianku. Seandainya saja Ravaka bilang dia akan mengenakan itu, kami bisa berseragam.

Ada dua orang wanita di belakang Ravaka. Yang memakai gamis panjang pasti ibunya, dan yang mengenakan kemeja kota-kotak sudah tentu kakak perempuannya. Aku berdiri, membenahi pita pada leher blouse bunga-bunga yang kukenakan, dan menyempurnakan senyuman. Kusebutkan lagi nama mereka di kepalaku sesuai yang diberitahukan Ravaka sebelumnya, Bu Salma dan Kak Delia.

“Aduh maaf ya jadi menunggu agak lama,” ucap Bu Salma saat langkahnya sudah dekat. Suaranya pelan, halus, dan lebih kental dengan logat Melayu. “Ini Rashma ya?” katanya langsung mengarah padaku.

Aku menyalami tangannya sambil menjawab, “Iya Ibu, ini Rashma.” Beralih ke Kakak Ravaka, aku juga menyapa, “Halo, Kak Delia.”

“Hai, Rashma. Akhirnya kita bisa ketemu ya,” katanya dengan senyum mungil dan suara yang juga lembut.

Mbak Elana dan Mas Lais mempersilakan mereka duduk di meja sebelah yang kebetulan kosong. Aku ikut dengan Ravaka ke meja kasir, memesan makanan untuknya dan keluarganya.

Di tengah-tengah menunggu pesanan siap, Ravaka yang berdiri di sebelahku berucap, “Sorry ya tadi lama nunggunya. Yang bikin makan waktu tuh tadi beresin barang-barang, soalnya Ibu dan Kakakku nggak akan balik lagi ke hotel setelah aku berangkat. Bakal langsung pulang.” 

“Nggak apa-apa.” Itu sudah tidak menggangguku lagi. “Yang penting kalian udah ada di sini sekarang.” Aku mengintip keluarga Ravaka dan keluargaku yang mulai bercakap-cakap. Perutku melilit, menyadari bahwa belum lama ini aku dan Ravaka bahkan tidak tahu eksistensi satu sama lain di muka bumi. Namun sekarang, keluarga kami sudah saling bertemu.

“Aku deg-degan,” ujarku jujur.

“Karena ketemu keluarga aku?”

Sebagai jawaban, kuberi Ravaka senyum dengan bibir yang terlipat ke dalam.

Dia terkekeh. “Aman kok, santai aja babe.” Ravaka menghadapkan seluruh wajahnya yang tertopang tangan di meja konter padaku. “Aku yakin mereka bakal suka kamu, sama kayak aku.”

Hal yang langka bagiku untuk tidak merasa gugup saat bertemu pertama kali dengan orang baru. Apalagi, orang yang ingin kuberi kesan baik. Aku memegang kecil permukaan sweater di siku Ravaka dan aku memilih untuk percaya dengan ucapannya meski perutku masih berkupu-kupu bukan main.

Tak lama kemudian, kami bergabung kembali ke meja dengan membawa dua nampan berisi makanan dan minuman western. Ravaka duduk di meja sebelah bersama keluarganya, dan aku bersama keluargaku. Ravaka mengisi tempat duduk yang berseberangan denganku. Awal-awal sunyi, hanya dikelilingi suara mengunyah.

Mbak Elana memecah diam dengan bertanya, “Mas Ravaka dari jurusan apa?” Meskipun, seingatku, aku sudah pernah memberitahunya tentang hal itu. Sebutan “Mas Ravaka” membuatku tersenyum. Sejauh ini aku belum pernah mendengar siapapun memanggil Ravaka begitu.

Ravaka cepat-cepat menelan makanannya. “Saya dari jurusan Pemetaan.” Ada jeda untuknya melihatku. “Mbak,” sambungnya. Setelah itu dia mengokohkan duduk. Mengetahui bahwa Ravaka tidak biasanya gugup dan sekarang dia tampak seperti itu, aku malah jadi senang. Artinya kami sama-sama menganggap pertemuan ini penting.

“Fakultas Sosial ya?” tanya Mas Lais menyambung pembicaraan.

“Iya betul Mas,” jawab Ravaka dengan anggukan. Senyuman terpatri di wajahnya.

Mbak Elana selanjutnya menceritakan bahwa ia dan suaminya pun adalah mahasiswa jebolan universitas yang sama seperti aku dan Ravaka. “Saya dulu dari jurusan Ekonomi, kalo suami saya dari Teknik. Kita ketemunya juga pas KKN.”

Lihat selengkapnya