Portal-Portal Menuju Patah

Firdhaniaty Rachmania
Chapter #27

26 - Terungkap Lebih Banyak

Setelah pulang magang, aku menghabiskan lebih dari 10 menit berdiam diri di toilet. Untuk menangis, dan sebagian besar untuk berpikir. Menimbang-nimbang apakah ini saatnya untuk menyingkap kebenaran yang sudah lama kusembunyikan dari dunia. Rasanya tidak bisa lagi kudekap semua rasa sakit ini sendirian.

Aku memutuskan untuk melangkah keluar dari toilet sebelum keberanian kembali menciut. Pasti sangat kentara wajahku berubah sembab, karena Malva dan Slafi yang sedang duduk berseberangan di meja balkon langsung menatapku khawatir. Kutempati kursi kosong yang paling dekat untuk digapai.

“Ras, you good?” tanya Malva, di sela-sela mengunyah biskuit.

“Enggak.”

Dia menelan dengan cepat. “Kenapa?”

Kedua tanganku saling bertaut keras di depan perut yang melilit dahsyat. “Aku harus ngasih tau kalian sesuatu.”

“Tentang dia?” tebak Slafi.

“Iya.”

“Ada apa? ayo spill.” Slafi melipat tangan di meja, siap mendengarkanku. Aku yakin nanti wajah Slafi akan tertekuk setelah tahu apa yang kuungkapkan. Tidak sanggup melihat reaksinya, maka aku menunduk.

Menarik napas, menghembuskan napas.

Keluarkan saja, Rashma.

Keluarkan saja.

“Yang Ravaka lakuin sama cewek lain…” Tenggorokanku memanas, kuambil napas lagi. “… lebih dari pelukan.” 

Aku mendongkak, wajah Slafi dan Malva mulai mewakili tanda tanya besar. Aku kembali menatap permukaan meja, karena bagian selanjutnya adalah yang tersulit, mimpi paling terburuk yang menjadi nyata tanpa pernah kuduga. Tanganku meremas kain celana dengan sangat kuat sampai rasanya kapan saja bisa sobek. Mulutku seperti membuka paksa jahitan yang membungkamnya. Keras dan membuat berdarah, tapi harus kubebaskan.

“Mereka … ada hubungan intim.”

Aku memuntahkan racun itu. Selama ini kutahan sendiri, dan sekarang aku sudah tidak tahan lagi.

Malva mematung sambil menganga, kunyahan biskuit masih ada yang belum tertelan di mulutnya.

“Fak!” umpat Slafi, menghempaskan tubuh pada sandaran kursi tanpa berkedip.

Telingaku bahkan masih menolak untuk percaya kata-kata itu nyata. Bagian diriku yang lain tidak sudi membenarkannya. Bagaimana bisa itu benar? Bagaimana bisa itu nyata? Seharusnya tidak nyata, seharusnya itu salah. Seharusnya Ravaka tidak melakukan itu. Bagaimana bisa Ravaka melakukan itu padaku?!

Namun, sakit yang seperti sekarat ini menjadi bukti bahwa ucapanku tidak mengada-ada.

“Maaf, waktu itu aku enggak ngasih tau kalian yang sepenuhnya. Aku … aku belum siap.”

Dan tidak akan pernah siap. Bagaimana seseorang bisa siap mengungkapkan pada dunia bahwa kekasih yang dibangga-banggakannya mendua dengan keji? Bagaimana aku bisa hidup dengan kenyataan itu sekarang? Pertanyaan tidak ada habisnya.

“Aku diserang banyak shock,” Malva memegang dada, lalu meraih tumbler-nya. “Bentar minum dulu.”

Slafi yang sudah bermuka masam menggertakan gigi. “Bisa-bisanya anjir! Dia bilang itu ke kamu?!”

“Iya, katanya berawal dari ngobrol pas lagi senggang terus … begitu.” Kugigit bibir bawah seraya berusaha keras tidak memutar bayangan tentang apa-apa saja yang mungkin Ravaka dan perempuan itu lakukan. Berdua. Dekat.

Aku ingin muntah.

Slafi menggeleng-gelengkan kepalanya, kedua alisnya bertengger sangat tinggi. “Gila, denger dia peluk cewek lain aja gua udah kesel banget. Ternyata kenyataannya lebih kacau lagi!”

Sembari menutup tumbler Malva bertanya, “Dia yang ngajak duluan berarti?”

Lihat selengkapnya