Oktober 2023
“Halo, Babe.” Wajah Ravaka muncul di layar laptopku.
“Hai, Babe!” sapaku balik dengan banyak keceriaan. Bahagia rasanya bisa kembali melihat Ravaka dengan balutan kaus birunya setelah belakangan kami sibuk dengan kehidupan masing-masing. Aku dengan adaptasi magang, dan Ravaka dengan adaptasi dunia perkuliahan di luar negeri.
Latar belakang Ravaka menunjukkan kasur putih dengan bed cover yang tebal dan lemari baju berkaca. Kamar flat Ravaka tampaknya berdesain minimalis dan terlihat nyaman untuk ditinggali. Seperti versi lebih kecil dari kamar hotel.
Meskipun dikelilingi berkas-berkas sinar sore yang terpantul dari jendela di samping meja belajarnya, aku mendeteksi nuansa muram dari Ravaka. Wajahnya ditekuk dan postur tubuhnya menurun. “Kamu gimana kabarnya? Apa udah lebih baik dari sebelumnya?” tanyaku yang mulai dirayapi rasa khawatir.
Beberapa waktu yang lalu, Ravaka memberitahuku bahwa dia dan teman-temannya tengah disibukkan dengan persiapan Cultural Fest, sebuah acara perkenalan budaya Indonesia untuk warga kampus di sana. Selain mengerjakan tugas pribadi, Ravaka selaku ketua divisi dan dokumentasi juga bertanggung jawab menggerakkan teman-temannya untuk merampungkan banyak desain tentang acara tersebut. Prosesnya sulit, karena tidak semua memiliki kemampuan mendesain sebaik Ravaka. Bahkan ada juga yang tidak bisa diajak berkoordinasi dengan baik. Hal-hal itu, ditambah waktu yang tidak banyak, cukup memusingkan Ravaka.
Ravaka meringis. “Enggak lebih baik. Malah tambah runyam. ” Ravaka memijit kedua pelipisnya dengan satu tangan. “Exponentially worse.”
Tidak terdengar seperti yang kuharapkan. “Apa yang kamu rasain sekarang?” tanyaku. Meskipun aku tahu Ravaka sedang tidak baik-baik saja, aku perlu tahu seberapa tidak baik dia saat ini.
“Selain stres dan capek, aku juga kangen kamu. Banget,” ujarnya, dengan penekanan pada kata terakhir. “Aku pengen kamu ada di sini sama aku.”
Aku seketika sadar bahwa sekarang saatnya aku ada untuk Ravaka. Seperti halnya dia ada untukku satu bulan yang lalu, ketika aku terpuruk karena timku tidak berhasil melaju ke tahap selanjutnya dalam kompetisi riset mahasiswa. Dia menghiburku dengan bilang bahwa apa yang sudah kucapai itu luar biasa, dan bahwa aku tetap hebat di matanya. Sekarang giliranku untuk membersamai Ravaka.
Dengan sepenuh hati, kukatakan, “Aku ada di sini buat kamu sekarang. Kamu bisa cerita apapun, aku akan dengerin.”
“Bukan gitu, bukan lewat laptop,” bantah Ravaka. Dia lalu mendekatkan wajahnya pada layar, secara tidak langsung membuat lebih jelas kantung matanya yang lebih gelap. “Aku butuh kamu bener-bener ada di sini nemenin aku, aku pengen ngerasain kehadiran kamu di samping aku secara langsung. Kayak dulu, sebelum kita terhalang jarak sejauh ini.”
Berada di belahan bumi yang sama dengannya lagi adalah angan-angan harianku juga. Banyak terputar di kepalaku, kami yang kembali bersatu. Aku tidak sabar untuk ada di masa itu. “Aku juga mau banget bisa ngabisin waktu bareng kamu lagi. Sebentar lagi ya, sebentar lagi kita bisa ketemu.”
Ravaka menunduk. “Aku nggak atau apa aku bisa tahan,” katanya, pelan dan lesu.
“Tentu kamu bisa, babe. Kamu lebih kuat dari yang kamu pikirin. Kamu selalu berusaha yang terbaik dan selalu bisa nemuin jalan keluarnya. Aku yakin kamu pun bisa melalui apapun itu yang bikin kamu resah saat ini.”
“What if I don’t?” tanyanya, kembali mendongkak. Kedua alisnya semakin turun.
Aku mengerutkan dahi. “Maksudnya?”
“Gimana kalo aku enggak bisa nemu jalan keluarnya?” Ravaka bersuara lebih gusar. “Aku udah berusaha, tapi sampe sekarang masih ngerasa stuck.”
Kucoba meraihnya dengan suara yang lebih halus. “Kalo gitu, mungkin aku bisa bantu kamu. Kita bisa coba cari jalan keluarnya bareng-bareng.”
“No, you can’t,” jawabnya cepat.
“Kenapa?”
“Karena kamu enggak ada di sini,” kata Ravaka, jelas dan lugas. “And I don’t blame you for that.”
“Rav …”
“Iya aku tau, enggak mungkin juga kamu ke sini. Tapi ya itu, aku ngerasa bakal jauh lebih baik kalo kamu ada sama aku.”
Aku mengedarkan pandangan seraya mencari hal bermanfaat apa yang bisa kusampaikan padanya. Lalu, aku terpikir, “Kalau secara fisik kita terhalang, kita bisa optimalin kedekatan emosional dengan banyak cerita dan terbuka satu sama lain. Mungkin itu bisa bantu kamu juga.”
“Itu enggak cukup buat aku. Kamu kan tau kalo kedekatan fisik itu lebih berdampak buat aku. Kombinasi keduanya oke, tapi kalau emosional aja nggak cukup.” Dia berdesah. “Aku udah berniat buat certain semua yang terjadi di sini secara langsung ke kamu pas aku udah pulang ke Indonesia.”
“Kamu enggak mau cerita dulu sekarang?” tanyaku, seperti anak kecil.
“Lebih enak cerita langsung, Ras.” Ravaka lalu menopang wajah dengan satu tangan sambil menerawangku. “I miss you so much.”