Portal-Portal Menuju Patah

Firdhaniaty Rachmania
Chapter #29

28 - Video Call (Jika Berbeda)

Aku seharusnya menanggapi Ravaka dengan lebih tegas saat itu.

Harus kutekankan padanya aku tidak terima dia berpikir untuk mencari orang lain. Bukannya menunjukkan kelemahan, aku harus kokoh dan solutif. Ravaka menyukai kelembutan dalam diriku, tapi aku tahu dia juga menyukai perempuan yang tangguh. Dia bahkan pernah memberitahuku contoh aktris Korea yang tampak seperti itu pada salah satu musik video. Perempuan yang dia sebut badass, berpenampilan garang, sarkastis, dan kuat dalam menghadapi guncangan hidup. Ravaka bilang dia menyukaiku apa adanya, tapi bagaimana jika kutunjukkan aku bisa lebih dari itu? Sebab jika aku adalah segala yang Ravaka inginkan, dia tidak akan mau melepaskanku. Jika aku adalah seratus persen wanita idamannya, dia tidak akan berani melirik wanita lain.

Apa yang akan berbeda jika aku lebih keras padanya?


Maka, sebelum melakukan video call dengan Ravaka, aku menghias mata dengan eyeliner hitam yang lebih panjang dari biasanya, mewarnai bibir dengan liptint yang lebih gelap dari biasanya, mengenakan jaket kulit keren dan bukan piyama tidur yang biasanya. Senyum dikontrol agar tidak muncul terlalu berlebihan. Tatapan tajam. Harus berusaha memancarkan energi ‘bodo amat’ karena ini Rashma yang tangguh.

Video call dimulai dan dia melihatku dengan mata yang terbelakak. Ravaka sadar aku berbeda dari Rashma yang biasanya. Dan aku rasa dia menyukai itu. Dia tidak bisa melepaskan pandangannya dariku bahkan saat pembahasan semakin menggelap.

Kudengarkan ocehan Ravaka tentang masalah yang membuatnya frustrasi dan pikiran gila yang terpicu karenanya. Kuamati kecemasannya mulai menyeruak seiring percakapan berjalan, tapi tidak kubiarkan dia tahu apa yang kurasakan. Kudengarkan semua omongannya dengan wajah yang tetap datar.

Pada saat Ravaka menunjukkan rasa putus asa dengan bilang, “Aku nggak tau apa aku bisa tahan,” Aku tidak memberinya jawaban lembut yang bejibun afirmasi, karena itu tidak berguna. Aku jawab, dengan suara yang stabil, “Semua orang bisa bertahan, kalo emang mereka mau.”

Lalu saat Ravaka dengan gusar mengatakan, “Gimana kalo aku enggak bisa nemu jalan keluarnya?” Aku juga tidak menawarinya untuk bercerita, karena itu hanya akan membuat dia semakin menekankan ketidakberadaanku di sampingnya. Maka aku melipat tangan dan justru berucap, “Berarti kamu belum berusaha cukup keras.”

“Harus sekeras apa lagi?” keluhnya.

“Sekeras aku yang masih mau dengerin kamu bahkan setelah kamu utarain hal menjijikan itu,” sahutku dengan lancar dan setajam belati.

Dia membuang napas dengan nyaring, “Ras … aku nggak tau harus gimana lagi. Ini berat buat aku.”

“Dan nggak berat buat aku?” Suaraku yang meninggi membuatnya terhenyak.

Kumanfaatkan itu untuk melanjutkan. “Kalo perlu diingetin, aku selama ini selalu berusaha ngertiin komunikasi jarak jauh kamu yang jelek. Aku tetep tunggu cerita-cerita kamu, meski kedatangan kamu nggak konsisten. Aku enggak menuntut apa-apa di saat kamu hilang entah kemana. Oke kamu sibuk, tapi aku selalu ada di sini, berusaha jadi tempat pulang kamu yang paling nyaman. Jadi kalo kamu ngerasa enggak dapet support saat ada masalah dan milih buat berpaling ke cewek lain, itu artinya kamu yang tutup mata.”

Lihat selengkapnya